Menuju Weltanschauung Darul Kamal: Literasi Award STAI DK 2020; Merawat Literasi, Membangun Peradaban
Muhammad Syafirin, Sabtu 02/01/2021
Setiap bangsa mendambakan generasi yang memiliki pamor intelektual dan eminensi jiwa yang bertalen. Besarnya suatu bangsa tidak hanya diperoleh dari satu faktor atau satu bidang tertentu saja, melainkan dari hasil sinergitas berbagai bidang dan ikhtiar. Konsep sinergitas tersebut diperoleh di antaranya melalui intensifikasi membaca dan menulis; yang secara ekslusif dan definit diartikan dengan budaya literasi.
Dalam kehidupan masyarakat maju, literasi membaca dan menulis telah menjadi bagian dari kebutuhan yang substansial. Sebagian besar pakar pendidikan menganggap literasi membaca dan menulis sebagai suatu hak asasi warga negara yang wajib difasilitasi oleh pemerintah selaku penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, tidak sedikit dari negara-negara maju dan berkembang menjadikan kemampuan literasi membaca dan menulis sebagai agenda sentral pembangunan sumber daya manusia agar mampu bersaing dalam era modern. Dan sebagian pakar mengatakan, bahwa literasi dalam konteks modern, merujuk kepada kemampuan membaca dan menulis pada tahap memadai untuk berkomunikasi dalam suatu masyarakat yang literat.
Gerakan literasi membaca dan menulis di Indonesia sudah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya belum menggembirakan. Sampai saat ini, kondisi literasi membaca dan menulis masyarakat Indonesia masih sangat minim. Bahkan, Duta Baca Perpustakaan Nasional Indonesia, Najwa Shihab, mengemukakan hasil survei dari studi Most Littered Nation in the Word pada tahun 2016 yang lalu. Dari hasil survei tersebut dinyatakan, bahwa Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara di dunia, terkait dengan keminusan minat baca dalam masyarakat.
Lanjut Najwa, jika dibandingkan dengan masyarakat Eropa atau Amerika, khususnya level anak-anak, dalam setahun mereka bisa membaca hingga 25-27 persen buku. Demikian juga di Jepang yang minat bacanya bisa mencapai 15-18 persen buku pertahun. Sementara di Indonesia jumlahnya hanya mencapai 0,01 persen pertahun. Hal ini menandakan masyarakat Indonesia belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Masyarakat Indonesia belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis belum menjadi budaya dan tradisi bangsa ini. Masyarakat lebih familiar dengan media visual (menonton), verbal (lisan) atau mendengar dibandingkan membaca, apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya terjadi pada kalangan awam (masyarakat umum), di lingkungan pelajar dan pendidikan tinggi pun masih jauh dari apa yang disebut General literacy culture. Kalangan generasi muda belum tertanam kecintaan terhadap membaca buku, selain sebatas membaca status atau keterpaksaan adanya tugas. Bahkan guru dan dosen, tidak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Tidak sulit untuk mengidentifikasi secara riil bahwa masyarakat bangsa ini belum memiliki tradisi literasi yang baik.
Jika kita ingin berkata, realitas degradasi di atas menggambarkan kegagalan masyarakat Indonesia dalam menjaga eksistensi dan budaya literasi yang‒sebetulnya‒telah tertanam sejak lama dalam kehidupan bangsa ini. Kita dapat melihatnya melalui peninggalan-peninggalan para leluhur berupa serat, layang, dan manuskrip yang ditulis dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Sansekerta, ataupun bahasa-bahasa lokal. Bahkan, hampir di setiap daerah di Nusantara ini terdapat ketiga genre literacy cultur di atas, tidak terkecuali Lombok.
Banyaknya naskah yang ditemukan di Lombok dalam jumlah besar mengindikasikan bahwa tradisi tulis menulis telah berkembang dengan baik sejak masyarakat Sasak mengenal tulisan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Prof. Jamaluddin, terdapat sekitar tujuh macam bahasa yang sering digunakan dalam karya tulis tersebut, yaitu Jawa Kuno, Sansekerta, Jawa, Sasak, Bali, Arab, dan Melayu. Hal ini, tentu saja merupakan persentasi gemilang yang dipentaskan masyarakat Nusantara, khususnya Lombok di masa silam.
Fenomena Literasi Masa Pandemi COVID-19 dan Kontribusi STAI Darul Kamal
Pandemi COVID-19 yang mengakibatkan sebagian besar stay at home mampu meningkatkan minat baca di sejumlah negara, khususnya Indonesia. Perpusnas mencatat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan terkait minat baca masyarakat Indonesia di masa pandemi COVID-19 bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari rata-rata sebelumnya yang hanya sekitar 36,48 persen (2017), meningkat 52,92 persen di tahun 2018, kemudian meningkat lagi menjadi 53,84 persen di tahun 2019.
Meningkatnya minat baca tersebut tentunya dikarenakan oleh sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah dan beberapa lapisan serta lembaga lainnya. Di dalam lembaga pendidikan seperti Perguruan Tinggi misalnya, beberapa kebijakan dikeluarkan kampus untuk menunjang kreativitas dan produktifitas akademik, terutama dalam meningkatkan minat baca dan menulis mahasiswa. Salah satu Perguruan Tinggi yang proaktif dan berjasa besar dalam hal ini adalah STAI Darul Kamal yang terdapat di bagian timur pulau Lombok NTB.
Keberhasilan STAI Darul Kamal dalam meningkatkan minat baca dan menulis mahasiswanya, terbukti dari terselenggaranya Literasi Award perdana pada tanggal 28 Desember 2020 yang lalu. Dalam acara tersebut, STAI Darul Kamal bukan hanya bertujuan mengapresiasi 18 author terbaik, tetapi lebih dari itu, STAI Darul Kamal hendak membangun peradaban literasi serta mengembalikan image gemilang dari kancah budaya dan peradaban teks yang pernah tercelik oleh para pendahulu bangsa ini.
Prof. Lukman al-Hakim, selaku Rektor STAI, dalam muqaddimahnya pada acara Literasi Award tersebut, memberikan dukungan dan rasa optimisme terhadap para dosen dan mahasiswa agar tetap menjaga dan melestarikan tradisi gemilang ini. Dengan posisi geografis yang jauh dari perkotaan, lokalitas STAI Darul Kamal bukanlah menjadi kayu penghalang untuk memajukan budaya literasi. Bahkan, secara vertikal, spirit intelektual yang disertai jiwa religius hampir jarang diketemukan selain di STAI Darul Kamal. Itulah sebabnya, Prof. Lukman, dalam beberapa kesempatan seringkali menganalogikan mahasiswa STAI dengan ‘mutiara’ di tengah jutaan hamparan batu dan karang. Mutiara dengan keterbatasan kuantitasnya, yang terletak jauh dan terpencil di tengah samudera, bukan menjadikan dirinya terlampau dan tertinggal. Justru sebaliknya, dia selalu dicari dan dibutuhkan banyak orang di seluruh dunia. Dengan pamornya yang kirana dan permai, tidak jarang menyihir mata setiap orang, sehingga mereka rela untuk menyelam dan berlabuh ke dalam samudera sekalipun demi mendapatkannya.
Selain sebagai sarana pengembangan minat, Literasi Award STAI DK 2020 juga mensinyalir kesadaran kita akan warisan tinta sejarah dan peradaban intelektual di masa klasik, dalam konteks ini Islam. Demikian ungkapan dari salah seorang sejarawan Islam Lombok, Prof. Jamaluddin, yang menjadi key note speaker pada ajang Literasi Award tersebut.
Betapa tidak, ratusan bahkan ribuan kitab yang lahir dari pena ulama-ulama klasik ternama seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lainnya, merupakan bukti kongkret akan sebuah tradisi kitabah (literasi) yang aktif dan produktif. Tradisi kitabah yang aktif, mulai fenomenal sejak era Al-Ghazali (w. 505 H). Kritikan pedas yang dilontarkannya terhadap beberapa pemikiran filosof muslim sebelumnya, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, tertuang dalam karya tulisnya berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan-kerancuan para filosof).
Kemudian, satu abad pasca Al-Ghazali, tampil Ibnu Rusyd (w. 595 H) yang mencoba merekonstruksi konsep vital para filosof yang telah disesatkan Al-Ghazali dalam Tahafutnya. Ulama kharismatik dan filosof ternama dari Spanyol itu, menyebutkan bantahannya terhadap setatement Al-Ghazali yang dinilai telah tergesa-gesa dalam menjustis pemikiran para filosof sebelumnya. Hal ini diabadikan dalam tulisannya yang berjudul Tahafut al-Tahafut (kerancuan di dalam ‘Tahafut’). Kemudian, beberapa pemikiran Kalam Ibnu Rusyd sebagaimana yang termaktub dalam karya tulisnya, Al-Kasyfu ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, menuai nasip yang sama seperti apa yang telah dilakukannya terhadap Al-Ghazali. Respon kritis terhadap pemikiran Kalam Ibnu Rusyd ini dilakukan oleh seorang cendekiawan muslim modern asal Casablanca, Maroko. Ia bernama Muhammad Abed Al-Jabiri (w. 2010). Tulisan-tulisan Al-Jabiri yang memuat komentar Kalam Ibnu Rusyd, terkumpul dalam sebuah karya tulis dengan judul sangat panjang, yaitu Al-Kasyfu ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid al-Millah: Aw Naqdu ‘Ilmi al-Kalam Diddan ‘ala at-Tarsim al-Aydiyulugi lil-‘aqidah wa Difa-an ‘an al-‘Ilmi wa Khurriyah al-Ikhtiar fi al-Fikri wa al-Fi’li Ma’a ad-Khal wa Mutaqaddimatan Tahliliyatan wa Syuruh lil-Musyraf ‘alal-Masyru’. Demikianlah salah satu bentuk literacy civilization yang senantiasa aktif dan terawat dari era klasik, bahkan hingga postmodernisme sekarang ini.
Dengan melihat realitas rekonsiliasi pemikiran di atas, kita bisa merasakan bahwa literasi pada hakikatnya tidak cukup diartikan sebagai aktivitas membaca dan menulis saja, lebih dari itu literasi mencakup kemampuan berpikir kritis dalam memahami segala sesuatu diberbagai bidang. Pengertian ini selaras dengan apa disampaikan oleh salah seorang mentor Jurnalistik, FizianYahya, pada acara Talk Show Literasi Award STAI DK 2020. Menurut Fizian Yahya, membaca dan menulis adalah sebagian kecil dari dunia literasi. Dan tujuan akhir dari literasi ialah membentuk masyarakat yang kritis dan mambantu memersiapkan bibit dan bobot intelektual yang produktif agar mampu bersaing dengan perkembangan zaman.
Melalui literasi Award tersebut, tampak STAI Darul Kamal sangat optimis dan serius dalam mewujudkan peradaban dan cita-cita besar ini. Kebijakan kampus yang menjadikan Jurnalistik sebagai MK wajib bagi seluruh mahasiswa, telah membawa perubahan yang signifikan di lingkungan STAI Darul Kamal. Selama kurun waktu empat bulan, STAI telah mampu membangkitkan intellectually conscious, sehingga wajar apabila website Aliflam kini dipenuhi oleh tulisan-tulisan informatif dan edukatif dari mahasiswa STAI. Bahkan, ada sebagian mahasiswa yang mampu menghasilkan lebih dari tiga tulisan dalam sehari, dan pada saat yang sama, beberapa tulisan juga telah diterbitkan dalam Alif Lam Journal of Islamic Studies and Humanities pada tahun 2020 kemarin.
Keberhasilan semacam ini, tentunya bukanlah hal yang alamiah. Di balik munculnya para author sukses, terdapat mentor-mentor hebat yang berperan aktif di dalamnya. Namun saya ingin berkata, dari sekian banyak mentor, terdapat dua orang yang sangat berpengaruh terutama dalam menstimulus dan membentuk pola pikir saya. Bahkan, saya menganggap keduanya sebagai mainstream pemikiran dalam melahirkan sebuah karya tulis. Kedua mentor yang saya maksudkan adalah Muhammad Said dan Yusri Hamzani. Bagi saya, kedua mentor ini memiliki cara dan tipologi tersendiri dalam menerapkan konsep-konsep di dalam Jurnalistik. Yusri Hamzani yang terkenal dengan fleksibelitas dan kejenakaannya, selalu menekankan aspek yang bersifat substansial dalam Jurnalistik, sehingga tidak jarang membuat mahasiswa di bawah asuhannya, termasuk saya, melahirkan tulisan dengan genre sastra dan opini.
Adapun Muhammad Said, meskipun belum pernah bertemu dengannya secara lansung dalam MK Jurnalistik, namun bagi saya, dia melengkapi segala apa yang saya dapatkan sebelumnya. Letak perbedaannya adalah kalau Yusri Hamzani (my mentor) lebih berorientasi kepada aspek substansial, maka Muhammad Said lebih mengarah kepada penataan (regulation) hal-hal yang bersifat esensial dalam aktivitas bacaan saya, sehingga pada ajang literasi kemarin saya mampu menghasilkan dua puluh satu tulisan tentang studi Islam, kajian Al-Qur’an Hadis dan pendidikan. Dan alhamdulillah, tulisan-tulisan tersebut disambut baik oleh beberapa dosen dan menempati posisi pertama dalam tulisan bergenre kolom pada Literasi Award STAI DK 2020.
Demikianlah kesan yang saya temukan dan rasakan dalam suasana Literasi Award STAI DK 2020. kesyukuran dan kebahagiaan yang tiada tara, saya sampaikan kepada semua mentor hebat yang telah berjasa pada diri saya secara khusus, dan kepada para mahasiswa pada umumnya.
Adapun kesan filosofis yang ingin saya ungkapkan untuk mengakhiri tulisan ini adalah bahwa literasi Award yang diselenggarakan STAI Darul Kamal pada 28 Desember 2020 kemarin, bukan hanya bertujuan meningkatkan kreativitas dan produktivitas mahasiswa, tetapi STAI hendak menyuarakan kepada dunia bahwa ‘literasi’ bukanlah kemewahan cendekia. Ia merupakan hak asasi manusia yang berhak diminati dan dinikmati siapa saja. Literasi merupakan wujud kemerdekaan dan eksistensi yang paling esensi. Ia bukanlah belenggu yang membuat manusia terpaku dan terpaksa menjalaninya.
#Salam Literasi Mahasiswa
Alhamdulillah tersadarkan..