DENOTASI DAN DISTINGSI ‘SHALAT’ DALAM AL-QUR’AN [Kajian Analisis Izutsu dalam Semantik Qur’anic]
15 mins read

DENOTASI DAN DISTINGSI ‘SHALAT’ DALAM AL-QUR’AN [Kajian Analisis Izutsu dalam Semantik Qur’anic]

Kamis, 17 Desember 2020

Muhammad Syafirin

Pada tulisan kali ini, penulis ingin mencoba menguraikan beberapa permasalahan yang bersifat substansial, terutama yang berhubungan dengan ‘ubudiyah (peribadatan). Salah satu tema ‘ubudiyah yang penulis angkat adalah ‘Shalat’.

Shalat merupakan ritual ‘ubudiyah kaum muslimin yang dipandang sebagai sarana paling efektif dalam menjalin hubungan intim dengan Allah (hablun minallah). Semua sendi-sendi yang tergabung dalam rukun Islam, tertuang dan termanifestasikan dalam ritual ‘shalat’. Syahadat yang menjadi basis vital kaum muslimin; menjadi salah satu bagian dari rukun shalat. Puasa yang esensinya sebagai ikhtiar pengekangan atas hawa nafsu, juga menjadi bagian elementer dalam shalat; agar merasakan kenikmatan ibadah dan kehadiran Tuhan (khusyu’). Jika zakat dipahami sebagai langkah penyucian harta; maka shalat bertujuan menyucikan hati. Dan haji yang diilustrasikan sebagai bentuk mujahadah; dijadikan basis utama dalam shalat, untuk menggapai keridhaan Allah SWT.

Untuk mencapai pemahaman kompatibel tentang ‘shalat’, penulis menggunakan analisis semantik Izutsu, sebagaimana yang telah diterapkan pada kajian ‘Darul Kamal’ yang lalu. Mengapa harus Izutsu? Karena, dengan menggunakan pendekatan semantik Izutsu, kita dapat menemukan berbagai macam pola dan perspektif yang unik (distingtif), sehingga ‘shalat’ bukan hanya diserap sebagai denotasi taklif (pembebanan), tetapi juga diresapi sebagai denotasi ta’rif (definitif).

A. Semantik Toshihiko Izutsu: Refleksi Teoritis

Dalam kesempatan ini, sengaja tidak disebutkan biografi Izutsu, karena pernah penulis terangkan secara ringkas pada artikel berjudul Menjiwai ‘Darul Kamal’ dengan Semantik Toshihiko Izutsu. Namun, yang menjadi tambahan penulis dalam tema ini adalah bagaimana bentuk metodologi yang digunakan Izutsu dalam menemukan sebuah pengertian konseptual weltanschauung (worldview) terhadap sebuah istilah/kata kunci dalam Al-Qur’an.

Konsep weltanschauung merupakan sebuah kajian sifat terhadap konsep-konsep yang telah mengkristal dalam istilah bahasa/kata kunci, dengan menggunakan mekanisme analisis metodologis, yang bertujuan menemukan worldview (pandangan dunia masyarakat terhadap istilah bahasa/kata kunci itu).

Berbicara tentang konsep wetanschauung Al-Qur’an, Izutsu berusaha untuk membiarkan Al-Qur’an menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri. Dan dalam konteks ini, Izutsu mengusung beberapa metode-metode; pertama, mencari makna dasar dari istilah bahasa/kata kunci yang terdapat dalam Al-Qur’an; kedua, mencari makna relasional dengan menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik; ketiga, mengungkap sejarah linguistik dari istilah bahasa/kata kunci tersebut dengan melihat pada masa pra-Qur’anik, Qur’anik dan pasca-Qur’anik.

Untuk menemukan distingsi ‘shalat’ dalam Al-Qur’an, penulis hanya cukup menggunakan dua dari ketiga metode di atas, yaitu mencari makna dasar (leksikal) kata ‘shalat’, dan menemukan makna relasionalnya dengan menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik.

B. Makna Dasar Shalat (الصلاة)

Makna dasar yang diperkenalkan oleh Izutsu lebih mengarah pada makna yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Cara kerja pencarian makna dasar ini diperoleh melalui perhatian makna leksikal. Semua makna, baik dalam bentuk dasar maupun turunan yang ada dalam setiap kamus disebut dengan leksikal.

Kata Shalat (الصلاة) adalah bentuk mashdar dari kata kerja yang tersusun dari huruf-huruf (ص) shād, (ل) lām, dan (و) waw. Susunan dari huruf-huruf tersebut, menurut Ibnu Faris Al-Ashfahani, mempunyai makna denotatif, yaitu pertama, ‘membakar’ dan kedua, ‘berdoa’ atau ‘meminta’. Ada juga yang berpendapat bahwa makna denotatifnya adalah shilah (صلة) yang berarti ‘hubungan’, karena shalat menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya.

C. Makna Relasional Shalat  (الصلاة)

Makna relasional merupakan pemberian makna baru terhadap suatu kata yang bergantung pada kalimat dimana ia diletakkan. Izutsu membagi makna relasional ini ke dalam dua bentuk analisa, yaitu analisa sintagmatik dan analisa paradigmatik.

1. Analisa Sintagmatik

Dengan menggunakan analisa ini, kita dapat mengetahui kata-kata yang melingkupi makna Shalāt (الصلاة). Dalam kesempatan ini, penulis akan mengambil tiga kata, di antaranya; (الله) Allah, (إيمان) Iman, (سكينة) Sakinah.

a) Relasional Kata (الله) Allah.

Ketika berbicara konsep-konsep tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an, seseorang tidak bisa meninggalkan dan mengabaikan begitu saja terhadap kata fokus ‘tertinggi’ dalam Al-Qur’an. Kata fokus tertinggi yang dimaksud adalah Allah. Demikian pula, ketika mencoba merangkai pandangan dunia Al-Qur’an tentang konsep shalat, mau tidak mau harus melihat kata fokus Allah, karena semua ajaran di dalam Al-Qur’an tidak pernah bisa lepas dari sisi monoteistik. Allah Swt. berfirman:

أُولٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُلٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Mereka itu mendapatkan pengampunan dan belas kasihan dari Tuhan mereka (Allah), dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 157)

Pada ayat ini, relasional kata Allah tampak ketika Allah menghendaki dengan pemberian pengampunan dan belas kasih kepada hamba-Nya yang taat. Ungkapan ini mengandung arti shalat sebagai bentuk pengampunan Allah, sebagaimana yang terdapat pada Q.S Al-Ahzab [33]: 43 dan 56.

b) Relasional Kata (إِيْمَان) Iman.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman:

يٰآيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۚ إِنَّ اللهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 153)

M. Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Mishbah, ia menjelaskan bahwa ayat ini mengajak orang-orang yang beriman untuk menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong untuk menghadapi setiap cobaan hidup. Peranan shalat sedemikian penting dalam kehidupan manusia, sehingga Allah memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk meminta permohonan melalui shalat, di samping sebagai bentuk kewajiban, juga merupakan sarana yang paling efektif untuk berkomunikasi, berjumpa dan memohon kepada Allah.

c) Relasional Kata (سكينة) ‘Sakinah.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, karena sesungguhnya permohonanmu menjadikan mereka tenang, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S Al-Taubah [9]: 103)

Teungku Hasbiy Ash-Shiddieqy menjelaskan dalam tafsir An-Nur, bahwa dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Saw. untuk memohonkan ampun kepada para dermawan yang senang memberi sedekah dengan penuh kebajikan. Disini kita dapat memahami bahwa, shalat berarti ‘permohonan’, karena memang ritual shalat mengekspresikan keadaan ‘butuh’ seorang hamba kepada Tuhannya, sekaligus ketundukan dan kepatuhan seraya memohon ampun atas segala kesalahan yang telah di perbuatnya. Dengan begitu, shalat akan menjadikan seseorang merasakan ketenangan batin dalam dirinya, sehingga orientasi hidupnya akan senantiasa bahagia dan damai.

2. Analisa Paradigmatik

Analisa paradigmatik ialah suatu analisis yang mengkompromosikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim) atau bertentangan (antonim).

a. Sinonimitas Kata Shalat (الصلاة) dalam Al-Qur’an.

Kata shalat (الصلاة) dalam al-Qur’an terdapat pada 83 tempat‒selain dari bentuk kata صلى  dan مصلى  ,‒diantaranya; (Q.S [2]: 3, 43, 45, 83, 110, 153, 157, 177, 238, 277), (Q.S [4]: 43, 77, 101, 102, 103, 142, 162), (Q.S [5]: 6, 12, 55, 58, 91, 106), (Q.S [6]: 72, 92, 162), (Q.S [7]: 170), (Q.S [8]: 3, 35), (Q.S [9]: 5, 11, 18, 54, 71, 99, 103), (Q.S [10]: 87), (Q.S [11]: 87, 114), (Q.S [13]: 22), (Q.S [14]: 31, 37, 40), (Q.S [17]: 78, 110), (Q.S [19]: 31, 55, 59), (Q.S [20]: 14, 132), (Q.S [21]: 73), (Q.S [22]: 35, 40, 41, 78), (Q.S [23]: 2, 9), (Q.S [24]: 37, 41, 56, 58), (Q.S [27] 3), (Q.S [29]: 45), (Q.S [30] 31), (Q.S [31]: 4, 17), (Q.S [35] 18, 29), (Q.S [42]: 38), (Q.S [58]: 13), (Q.S [62] 9, 10), (Q.S [70]: 23, 34), (Q.S [73]: 20), (Q.S [98]: 5), (Q.S [107]: 5). Shalat (الصلاة) yang bermakna ‘berdoa atau meminta serta memohon’ sejatinya memiliki sinonim dalam al-Qur’an. Berdasarkan penelitian penulis, paling tidak ada empat kata yang semakna dengan shalah (الصلاة), yaitu al-dzikr, istighfar, al-sujud, dan al-Qur’an.

1) Al-dzikr (الذكر)

Dalam al-Qur’an terdapat 267 kata yang merupakan bentuk derivasi dari kata dzikir. Selain dari 18 kata dzakara (ذَكَرَ) yang berarti laki-laki dan 7 kata muddakkir  (مُدَّكِّر) (dengan memakai dal). Kata-kata zikir dalam al-Qur’an, ada yang mengandung arti ilmu misalnya kata adz-dzikr (الذِّكْرُ) , ada yang mengandung arti ingat, seperti kata adzkurahu (أَذْكُرَهُ)  (Q.S Al-Nahl [16]: 43), ada juga yang mengandung arti ‘ingat di hati dan lisan’, misalnya kata udzkuru (أذْكُرُ) dan dzikr  (ذِكْرٌ) (Q.S Al-Baqarah [2]: 200, 203). ‘Abdullāh ‘Abbās al-Nadwî dalam Qāmûs Alfāzh al-Qurān al-Karîm Arabi-Injilisi menyatakan bahwa zikir dapat berarti ‘sebutan’ (mention), ‘ingatan’ (remembrance or recollection), ‘peringatan’ (reminder/admonition), ‘do’a’ (invacation), ‘nama baik’ (reputation), dan ‘kemasyhuran’ (renown). Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-jumu’ah [62]: 9;

فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 “Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Para ulama’ memahami kalimat إلى ذكر الله  dengan makna shalat jum’at. Syaikh Wahbah Zuhaili mengatakan, kata فاسعوا mengisyaratkan bahwa seorang muslim dituntut untuk melaksanakan shalat jum’at dengan penuh semangat, gembira, dan sungguh-sungguh, serta meninggalkan aktivitas jual beli dan segenap bentuk transaksi, usaha, kegiatan ekonomi dan pekerjaan yang lain, demi menghargai datangnya waktu shalat jum’at.

Kata shalat (الصلاة) yang menunjukkan arti dzikir terdapat pula pada Q.S Al-Baqarah [2]: 239 (فإذا أمنتم فاذكروا الله ) oleh sebagian ulama tafsir‒termasuk imam Nawawi al-Bantaniy‒memaknai kalimat فاذكروا الله  dengan ’shalat’.

2) Istighfar (الإستغفار)

Kata istighfar yang mengandung makna shalat terdapat dalam Q.S Al-dzariyat [51]: 18; (وبا الأسحار هم يستغفرون) “Dan di akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah”. Oleh Ibnu Katsir, kata istighfar tersebut di tafsirkan dengan “يصلون” (mereka shalat) karena di dalam shalat terdapat permohonan ampunan dan disaat itulah istighfar paling banyak dipanjatkan. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan, kata istighfar pada ayat tersebut mengandung tiga isyarat keistimewaan sifat yang dilukiskan, yaitu pertama, mereka yang sedikit tidur di waktu malam pada saat orang biasanya tidur, kemudian mereka mengisi malam itu dengan ibadah shalat tahajud. Yang kedua, menjelang waktu subuh tiba mereka mengisi dengan memperbanyak istighfar. Ini mengisyaratkan betapa besar rasa takut mereka kepada Allah, kendati ibadah mereka sudah sedemikian banyak. Dan yang ketiga adalah mewajibkan atas diri mereka sendiri pengeluaran harta di mana orang biasanya kikir mengeluarkan yang diwajibkan atasnya.

3) Sujud (السجود)

Kata sujud yang mengandung makna shalat terdapat dalam Q.S Al-Syu’ara [26]: 219; ( وَتَقَلُّبَكَ فِى السَّاجِدِيْن) “Dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang bersujud” yang oleh Ibnu ‘Abbas r.a, kata السَّاجِدِيْن dipahami sebagai المصلين  “orang-orang yang shalat”.

Hamka mejelaskan dalam tafsirnya, bahwa ayat tersebut menggambarkan bagaimana Allah memperhatikan kehusyu’an hamba-Nya di saat ia shalat sendiri maupun secara berjamaah, terutama pada saat ia sujud. Karena di saat itu orang-orang yang shalat benar-benar merendahkan dirinya kepada Tuhan, ia merasa hina di hadapan Tuhan. Dan selain itu, sujud merupakan saat dimana manusia lebih dekat dengan Tuhannya, sebagaimana yang di jelaskan dalam hadis Nabi.

4) Al-Qur’an (القرأن)

Kata al-Qur’an ditemukan sebanyak 88 kali dalam berbagai redaksi ayat al-Qur’an, dengan beberapa bentuk; seperti, turunan kata  قرأ  qara’a terdapat pada 16 tempat, yaitu; (Q.S [7]: 204), (Q.S [10]: 94), (Q.S [16]: 98), (Q.S [17]: 14, 45, 71, 93, 106), (Q.S [26]: 199), (Q.S [69]: 19), (Q.S [73]: 20), (Q.S [75]: 18), (Q.S [84]: 21), (Q.S [96]: 1, 3). Kemudian dari kata قروء  quru’ terdapat pada satu tempat, yaitu (Q.S [2]: 228), sedangkan kata قرآن   terdapat pada 70 ayat dalam al-Qur’an. Di antaranya; (Q.S [2]: 185), (Q.S [4]: 82), (Q.S [5]: 101), (Q.S [6]: 19), (Q.S [7]: 204), (Q.S [9]: 111), (Q.S [10]: 15, 37, 61), (Q.S [12]: 2), (Q.S [13]: 31), (Q.S [15]: 1, 87, 91), (Q.S [16]: 98), (Q.S 17]: 9, 41, 45, 46, 60, 78, 82, 88, 89, 106), (Q.S [18]: 54), (Q.S [20]: 2,113, 114), (Q.S [25]: 30, 32), (Q.S [27]: 1, 6, 76, 92), (Q.S [28]: 85), (Q.S [30]: 58), (Q.S [34]: 31), (Q.S [36]: 2, 69), (Q.S [38]: 1), (Q.S [39]: 27, 28), (Q.S [41]: 3, 21, 44), (Q.S [42]: 7), (Q.S [43]: 3, 31), (Q.S [46]: 29), (Q.S [47]: 24), (Q.S [50]: 1, 45), (Q.S [54]: 17, 22, 32, 40), (Q.S [55]: 2), (Q.S [56]: 77), (Q.S [59]: 21), (Q.S [72]: 1), (Q.S [73]: 4), (Q.S [75]: 17, 18), (Q.S [76]: 23), (Q.S [84]: 21), (Q.S [85]: 21).

Kata al-Qur’an yang menunjukkan makna shalat dapat kita lihat pada Q.S Al-Isra’ [17]:  78; (إن قرآن الفجر كان مشهودا) “Sesungguhnya shalat subuh itu di saksikan (oleh malaikat)”. Pada ayat ini disebutkan Qur’anul fajri, yang arti harfiahnya ialah Qur’an di waktu fajar, namun Hamka menyatakan bahwa tafsirannya adalah shalat subuh. Mengapa shalat subuh di sebut Qur’anul fajri? Mengapa bukan pada waktu selainnya? Hamka lanjut menjelaskan, bahwa para ahli tafsir mengatakan di waktu Subuh itulah di anjurkannya membaca ayat-ayat al-Qur’an yang agak panjang dan bukan pada selainnya.

Adapun Quraish shihab menjelaskan makna Qur’anul fajri ini dengan cukup refresentatif, ia mengatakan, secara harfiah Qur’anul fajri memang berarti bacaan (al-Qur’an) di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka tidak ada bacaan wajib pada saat fajar kecuali bacaan al-Qur’an, sehingga sepakatlah semua mufasir Sunni maupun Syi’ah menyatakan yang di maksud dengan istilah ini adalah shalat subuh. penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia mempunyai keistimewaan tersendiri, bukan saja karena ia disaksikan oleh para malaikat, tetapi juga karena bacaan al-Qur’an pada semua rakaat shalat subuh dianjurkan untuk dilakukan secara jahar (suara yang terdengar juga oleh selain pembacanya). Dan di samping itu shalat subuh adalah shalat yang terasa berat oleh para munafik karena waktunya pada saat kenyamanan tidur.

b. Antonimitas Kata Shalat (الصلاة) dalam al-Qur’an

Mengenai antonimitas kata shalat, dengan segala keterbatasan pengetahuan, penulis hanya mampu menyebutkan dua buah abtonim dari kata shalat, di antaranya:

1) Sāhûn (ساهون)

Sāhûn terambil dari kata (سها) sahā/ lupa, dan lalai, yakni seorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya. Kata Sāhûn dalam al-Qur’an terdapat pada dua surat, yaitu pada Q.S Al-Dzariyat [51]: 11; (الذي هم في غمرة ساهون) dan pada Q.S Al-Ma’un [107]: 5; (الذين هم عن صلاتهم ساهون) yang sama-sama memiliki arti ‘lalai. Sebelumnya penulis menjelaskan bahwa shalat di artikan sebagai dzikr (ingat), yang di jadikan sarana paling epektif oleh seorang hamba untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Maka prilaku yang berlawanan dengan sikap semacam ini adalah kelalaian dan kealpaan. Bagaimana tidak, shalat yang merupakan tiang agama dan pembeda antara kekufuran dan keimanan adalah kewajiban atau tujuan esensi (pokok) bagi kehidupan seorang mukmin itu sendiri.

2) Mujrimûn (مجرمون)

Kata mujrimûn (مجرمون) adalah isim fa’il yang berbentuk jama’ dari kata mujrim (مجرم), asal katanya jarama (جرم) yang berarti ‘dosa, kesalahan’, demikian di jelaskan dalam al-Mu’jam al-Wasith. Kata jarama juga berarti ‘tindakan kejahatan’, sehingga mujrimun dapat di artikan sebagai أشقياء asykiya’ ,para pelaku dosa atau pelaku tindakan kejahatan.

Dalam al-Qur’an, kata jarama dengan segala bentuk derivasinya ditemukan sebanyak 66 kali, seperti; Q.S Al-An’am [6]: 124 (أجرموا) “mereka berdosa”, Q.S Hud [11]: 35 (تجرمون), “kamu berbuat dosa”, Q.S Saba’ [34]: 25 (أجرمنا) “dosa kami”, dan lain sebagainya.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-Qalam [68]: 35; أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِيْنَ كَالمُجْرِمِيْنَ  “Apakah (patut) Kami menjadikan orang-orang muslim sama dengan para pendurhaka?”. Quraish Shihab menafsirkan kata mujrimun dengan arti ‘para pendurhaka yang mantap kedurhakaannya’.

Jadi, sifat kedurhakaan bertentangan dengan hakekat (esensi) shalat yang secara filosofis bermakna عبد ‘abd (kepatuhan) sebagaimana yang terdapat pada Q.S Al-Dzariyat [51]: 56. Demikian menurut Harun Nasution.

Pelaksanakan shalat adalah bentuk pengabdian, dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah Swt., dan seorang hamba akan di cap sebagai pendurhaka bila meninggalkan shalat, terutama shalat lima waktu yang telah di syariatkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi al-Bantaniy al-Jawi, Syaikh Muhammad, At-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, (Bandung: Siar Baru Algesindo, 2011)

Al-Nadwi, ‘Abdullāh ‘Abbās, Qāmûs Alfāzh al-Qurān al-Karîm ‘Arab-Injilisi, (Chicago: Iqra International Education Fondation, 1986)

Chittick, William, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994)

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, t.th.)

Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)

Ismail ibn Katsir, ‘Imaduddin Abu al-Fida’, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar al-Hadits,1994)

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus Fahur Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pres, 1985)

Quraish Shihab, M., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Juz III (Jakarta Lentera Hati, 2007)

_______________ Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)

Tanaka, Stefan, “Imaging History: Inscribing Belief in the Nation”, dalam The Journal of Asian Studies 53, 1994

Zuhaili, Syaikh Wahbah, At-Tafsirul Munir; fil ‘Aqidah wasy-Syari’ah wal Manhaj, (Jakarta: Gema Insani, 2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *