PARADIGMA QUR’ANI “DARUL KAMAL” [Relevansi Nalar Izutsu Sebagai Kritik Banalitas Mahasiswa]
Rabu, 09 Desember 2020
***Kampusku: Penyemangatku..! Mahasiswa wajib baca sampai habis!
Sebetulnya hari ini merupakan hari libur. Surat Edaran dari Gubernur NTB hari kemarin, menyatakan bahwa bahwa Rabu tanggal 09 Desember 2020 ialah hari libur Nasional. Penetapan hari libur ini disebabkan oleh pemilihan serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di tahun 2020.
Penetapan hari libur ini ialah sebuah kewajaran. Tapi bagi seorang jurnalis, kata ‘libur’ merupakan sebuah kekerdilan. Sebab, jurnalis yang produktif adalah mereka yang selalu memiliki kreativitas dan writing skill yang baik. Dan untuk menunjang keduanya, seorang jurnalis mesti kontinyu melakukan penelitian dan aktifitas menulis. Ada sebuah ungkapan fenomenal di kalangan jurnalis; ‘Kami tidak mengenal weekend, tapi hanya mengenal kata capek’. Ungkapan ini sangat menyentuh batin saya, setidaknya sebagai spirit berpikir saya untuk menuangkan ide-ide hangat pada pagi ini.
Baiklah kawan-kawan Aliflam yang berbahagia, kali ini saya ingin mencoba tadarrus pemikiran semantik Izutsu dengan pendekatan yang sedikit berbeda dari teori yang terdapat pada penelitian berjudul ‘Menjiwai “Darul Kamal” dengan Semantik Toshihiko Izutsu: Kampusku Adalah Syurgaku’. Adapun teori yang akan saya gunakan pada tema ini adalah analisa paradigmatik terhadap istilah atau kata kunci dalam Al-Qur’an.
Pada tema ‘Menjiwai Darul Kamal’ kemarin, sebetulnya saya telah menerapkan dua pola pemikiran Izutsu, termasuk analisa paradigmatik; di samping pola lainnya seperti analisa sintagmatik yang terdiri dari penemuan makna leksikal suatu kata/istilah, dan makna relasional dari kata/istilah tersebut. Akan tetapi analisa paradigmatik yang saya gunakan pada tema yang lalu, hanya sebatas mengungkapkan sinonimitasnya dalam Al-Qur’an. Sedangkan ada satu hal yang sengaja tidak saya taruh‒dengan tujuan agar tidak memperlebar bahasan‒ialah teori antonimitasnya. Karena dalam hemat saya, menggunakan teori ini meniscayakan tema baru dengan judul yang lebih sekuler. Maka, apa yang saya angkat kali ini, pada dasarnya berangkat dari sebuah kegelisahan akademik. Para mahasiswa yang kuliah di STAI Darul Kamal memiliki kreativitas yang beragam, mulai dari cara berpakaian; cara bergaul; bahkan cara mereka memperlakukan kampusnya. Tidak banyak yang memahami hal ini, namun tidak sedikit pula yang yang menutup mata dan telinga.
Saya berkata seperti ini bukan untuk menjustis siapapun, karena tidak menutup kemungkinan saya pun demikian; termasuk dalam golongan yang menutup telinga. Akan tetapi berangkat dari kegelisahan di atas, saya ingin membenahi diri dengan mencoba mencari titik fokus pada istilah دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ dengan harapan mampu menawarkan kritik moral terhadap banalitas mahasiswa, khususnya di STAI Darul kamal.
Bagaimana cara menjadikan istilah دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ menjadi studi kritik banalitas mahasiswa?? Caranya mudah sekali. Kalau pada tema ‘Menjiwai Darul Kamal’ kemarin, saya membangun pemikiran konstruktif ‘Darul Kamal’ dengan pendekatan sinonimitasnya Izutsu, maka untuk mencari jawaban atas kritik banalitas mahasiswa, saya hanya perlu membentuk pemikiran preventif dengan menggunakan teori antonimitasnya. Dengan cara demikian, akan terdeteksi paradigma baru dengan tetap berkonsistensi Qur’ani.
Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu tahu apa itu banalitas mahasiswa. Istilah banalitas mengingatkan kita kepada istilah yang dinyatakan seorang teoritikus politik Jerman, Hannah Arendt, dalam tulisannya berjudul ‘Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil’. Ia menyebut banalitas itu sebagai kejahatan yang telah kehilangan ciri kejahatannya; dirasakan wajar; dan biasa saja. Maka dalam konteks akademika STAI Darul Kamal, banalitas (kejahatan yang mentradisi) terlihat dari dua dimensi pokok. Pertama, dimensi intelektual; kedua, dimensi spiritual. Mengapa dua hal pokok ini menjadi sentral bahasan pada tema ini? Karena, intelektualitas dan spiritualitas merupakan basis utama dalam perguruan tinggi Islam Darul Kamal. Maka virus-virus jahat yang dapat berpotensi merusak kedua organ penting dalam perguruan tinggi ini, mesti diverifikasi dan direduksifasi. Dan cara yang saya tempuh dalam hal ini adalah mencari antonimitas kata دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ dalam Al-Qur’an dengan paradigma Izutsu, kemudian mengaitkannya dengan ke-banalitas-an yang terjadi pada mahasiswa STAI Darul Kamal.
- Banalitas Intelektual
Banalitas intelektual adalah suatu kondisi yang ditandai dengan tiga hal yaitu pendangkalan yang tidak disadari; menurunnya kuwalitas berpikir mahasiswa; merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti mahasiswa. Faktor terjadinya pendangkalan pada sebagian mahasiswa STAI Darul Kamal‒yang tergolong banalitas‒lumayan banyak, termasuk di antaranya adalah kemalasan berpikir, kemanjaan mencari referensi, dan lemahnya semangat membuat tugas. Kemudian, faktor terjadinya degradasi berpikir mahasiswa ditandai dengan sikap alergi terhadap ‘membaca’ dan mengoleksi literatur bacaan. Ini biasanya terjadi pada seorang mahasiswa yang takut membeli buku banyak dengan alasan kekhawatiran tidak habis terbaca, dan tentunya takut resah juga jikalau jatah ‘smoke’ nya menipis.
Adapun merosotnya komitmen mahasiswa terhadap bidang yang digeluti; terkadang disebabkan oleh ‘alamat palsu’ [istilah Ayu Tingting]. Alamat palsu maksudnya adalah memasuki sebuah jurusan/prodi yang dia sendiri tidak mengetahui alasannya kenapa mesti masuk di situ. Di STAI Darul Kamal seringkali terjadi fenomena semacam ini, terutama bagi jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT); karena studi kasus di kelas saya sendiri, beberapa mahasiswa ada yang mengikuti pembelajaran IAT selama tiga bulan kemudian pindah ke jurusan lain dengan alasan ketidak-mampuan memahami ilmu tafsir. Ada pula yang hanya mengikuti pembelajaran IAT selama beberapa hari, kemudian pindah ke jurusan PGMI dengan alasan bahwa mahasiswa IAT angkatan saya cerdas-cerdas dan banyak yang dewasa; dan juga‒waktu itu‒ada alumnus Darul Musthafa Hadlramaut yang masuk program studi IAT.
Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, saya ingin mengajukan sebuah kritik dengan menggunakan paradigma Qur’ani دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’. Karena kebetulan juga, ‘Darul Kamal’ merupakan identitas perguruan tinggi; tempat dimana saya kuliah [biar gregett lah ya!].
Pertama, kita mesti sepakat bahwa apa istilah دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ memiliki pengertian ‘Rumah Paripurna’. Jika kita memandang ‘Darul Kamal’ sebagai ungkapan metafor, maka maknanya akan sangat luas. Dalam ranah Syari’ah, kita bisa berkata bahwa ‘Darul Kamal’ bermakna Al-Qur’an dan Al-Hadits; karena dari keduanya lahir beragam ilmu pengetahuan agama dan hukum-hukum Islam. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kita bisa menyebut ‘Darul Kamal’ sebagai Pancasila dan UUD 1945; karena keduanya adalah konstitusi yang mengatur seluruh aspek kehidupan dalam bernegara. Baik Al-Qur’an Hadits maupun Pancasila dan UUD, semuanya berhak dimaknai ‘Darul Kamal’ dalam pengertian ‘Rumah Paripurna’.
Kedua, Jika kita melacak antonimitas دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ dalam Al-Qur’an, kritik pertama yang kita temukan adalah teguran agar tidak menyia-nyiakan kampus tercinta ini. Sebab, dari segi penamaannya saja sudah mengandung do’a sakral dan harapan besar, ‘Darul Kamal’ “Rumah/Kampus kesempurnaan”. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَ كَتَبْنَا لَهُ فِى الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَ تَفْصِيْلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا, سَأُرِيْكُمْ دَارَ الْفَسِقِيْنَ
Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran untuk segala hal; maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang fasik”. (QS. Al-A’raf [7]: 145)
Pada ayat di atas, kita bisa melihat antonimitas pertama دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ (rumah ke-paripurna-an) yaitu دَارُ الْفَسِقِيْنَ ‘Darul Fasiqin’ (rumah orang-orang fasik). Lihatlah kandungan ayat di atas, bukankah Tuhan memerintahkan agar umat Nabi Musa Berpegang teguh kepada kitab Taurat dan menjadikannya sebagai pelajaran مَوْعِظَةً وَ تَفْصِيْلًا)), agar mereka tidak tergolong penduduk negeri orang fasik/negeri para pendurhaka? Maka sama halnya dengan STAI Darul Kamal yang merupakan wadah pengetahuan akademik. Dia berusaha dan berupaya agar bagaimana para mahasiswa menjadi tekun belajar, rajin masuk kuliah, dan menggunakan fasilitas‒berupa wifi dan perpustakaan‒kampus dengan baik dan benar. Tujuan apa? Tentunya, tujuan yang persis sebagaimana perintah pada ayat di atas, yakni agar mahasiswa tidak tergolong dalam negeri kaum fasik. Negeri kaum fasik, secara intelektual bisa bermakna kehidupannya para pemalas dan pemilik kebodohan. Karena ‘negeri’ secara esensi bisa juga berarti ‘otak’; dan otak merupakan rumah/negeri tempat bersinggahnya pikiran/nalar. Adapun ‘fasik’ bisa berarti ‘kebodohan’, sebab kedurhakaan intelektual akan melahirkan kebodohan. Maka ‘negeri orang-orang fasik’ dalam pemaknaan ini ialah ‘otak-otak manja dengan penuh kebodohan’.
Demikianlah kritik banalitas intelektual yang secara substansi telah diwujudkan oleh STAI Darul Kamal. Akan tetapi, barangkali mahasiswa belum dapat menjiwai dan meresapi makna implisit yang tertuang di balik nama دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ ini.
- Banalitas Spiritual
Banalitas spiritual ini memiliki pengertian yang sama dengan banalitas intelektual. Namun, perbedaannya adalah pada posisi penerapannya, dimana spiritualitas menyangkut spirit batin dan keagamaan. Dan dalam pandangan saya, banalitas spiritual merupakan kejahatan mahasiswa yang ditandai dengan sikap ‘meremehkan’ atau ‘menyepelekan’ pendidikan kampusnya. Faktor terjadinya banalitas ini adalah kegagalan mahasiswa dalam mendefinisikan tujuan pembelajaran akademik. Di STAI Darul Kamal misalnya, masih terdapat mahasiswa yang memiliki tipologi semacam ini. Mereka lebih menekankan lokalitas spiritual ketimbang intelektual. Study kasus di kelas saya, ada juga sebagian yang hanya aktif mengaji halaqah di Ma’had ‘Aly, akan tetapi jarang masuk pembelajaran kuliah. Padahal, pembina Ma’had ‘Aly Darul Kamal, TGKH. M. Ruslan Zain al-Nahdly kerapkali menekankan agar para mahasiswa menyeimbangkan mengaji dengan perkuliahan. Ilmu di ma’had memang penting sebagai bekal dakwah dalam masyarakat, akan tetapi harus sadari bahwa kita hidup di era globalisasi. Zaman dimana orang-orang akan diakui secara formalitas, yaitu dengan menyandang gelar/titel pendidikan. Jikalau titel/gelar tidak dimiliki, maka bagaimana bisa seseorang berdakwah mensyiarkan ajaran agama dengan leluasa? Di sinilah pentingnya menyeimbangkan keduanya. Ilmu ma’had itu penting; titel pendidikan juga penting.
Untuk menawarkan kritik atas banalitas ini, marilah kita lihat antonimitas دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’ yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Ibrahim [14]: 28.
اَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نِعْمَتَ اللهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?”. (QS. Ibrahim [14]: 28).
Secara maknawi, kita bisa sepakat bahwa kalimat yang digaris bawahi pada ayat di atas, merupakan antonimitas دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’, yakni دَارَ الْبَوَارِ ‘Darul Bawar’, yang berarti ‘lembah kebinasaan’. Para mufasir berpendapat bahwa ayat di atas merupakan peringatan bagi kaum muslimin agar mereka jangan sekali-kali berbuat dan bertindak seperti yang dilakukan oleh orang kafir. Apakah yang dilakukan orang-orang kafir itu?? Mereka ingkar terhadap nikmat yang telah Allah berikan; mereka meyepelekan perintah Allah; tidak mau taat dan merasa bangga dengan kemaksiatan mereka.
Mari kita lihat, paradigma yang dapat dipetik adalah jika دَارَ الْبَوَارِ ‘Darul bawar’ (tempat kebinasaan) teruntuk bagi orang-orang kafir karena pengingkarannya kepada Tuhan. Maka, kebinasaan bagi banalitas mahasiswa adalah kebodohan dan katertinggalan. Karena tiada sesuatu yang lebih membinasakan selain daripada membuang ilmu pengetahuan. Jika orang kafir binasa karena pengingkarannya, maka mahasiswa tertinggal karena kemalasannya.
Itulah sebabnya, STAI Darul Kamal sangat tidak ingin melihat para mahasiswa nya memiliki kepribadian kusam dan suram. Sebagaimana ungkapan pak Habib Husnial Pardi, dalam seminar Siakad yang lalu, yang mengatakan, ‘Saya tidak ingin melihat para mahasiswa STAI ini terlihat kolot dan kotor. Kalian harus disiplin, rajin, rapi dan happy !’.
Inilah bukti salah satu kepedulian dari para dosen dan civitas akademik terhadap para mahasiswa. Tapi apa yang terjadi? Ternyata banyak juga yang tidak mendengar; ntah bagaimana kendala atau apa penyebabnya, intinya itulah realitanya. Seperti ungkapan Tuang Guru Zaenuddin Al-Anfananiy, ‘Imma ndek mele…Imma kedok’ (Boleh jadi mereka tidak mau…boleh jadi mereka sengaja tuli).
Sebagai penutup, penulis berpesan kepada diri dan kita semua, marilah kembali kepada ‘Darul Kamal’ yang sesungguhnya. ‘Darul Kamal’ yang berjiwa integritas dan fungsionalitas. Mari kita renungi pesan tersirat ini dan jiwai dengan ketulusan…!
Sekian kado penelitian hari ini… semoga bermanfaat..!
#Salam Literasi !
#Muhammad Syafirin_IAT_V
#STAI_Darul_Kamal_Menulis