Tuan Guru Zainuddin Abdul MadjId : Politik Pengetahuan dan Strategi kebudayaan
11 mins read

Tuan Guru Zainuddin Abdul MadjId : Politik Pengetahuan dan Strategi kebudayaan

Prawacana

Saban 10 November tiba, kita rutin mendengar ucapan:“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Sebab pada tanggal itu, kita sedang merayakan suka cita “Hari Pahlawan Nasional”. Di hari itu pula, kita kembali mengenang para pahlawan bangsa dengan penuh rasa syukur, haru dan bangga. Kita mengingat mereka sebagai orang-orang yang telah berjuang dengan tenaga, harta, pikiran, dan bahkan nyawa demi bangsa ini. Atas jasa-jasa mereka-lah, kita dapat menikmati tanah air yang kini kita sebut: “Indonesia”. Benedict Anderson, dalam “Imagined Community” menjelaskan: bahwa Indonesia merupakan sebuah “nation” atau bangsa baru yang tumbuh dari imajinasi pelbagai golongan, etnik, ras, tradisi dan agama yang melebur di dalamnya (Baca: Anderson, Imagined Community).

 

Beberapa tahun terakhir ini, peringatan hari pahlawan sepertinya terasa lebih istimewa bagi masyakarat Sasak. Apa pasal? sebab orang Sasak merayakan hari pahlawan dengan menyertakan satu nama figurnya: yakni Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Dalam waktu yang lama, orang Sasak tak pernah punya daftar nama yang bersanding dengan nama-nama lain di hari Pahlawan Nasional. Maka wajar jika gairah dan suka-cita itu kemudian dirayakan meluap-luap atas nama pahlawan dari “bangsa” Sasak untuk Indonesia.

Satu nama itu, tentu saja tidak menafikan peran tokoh-tokoh lain yang pernah berjasa di gumi Sasak ini. Ada banyak tokoh lain yang juga pernah berjasa. Sebut saja misalnya Tuan Guru Umar Kelayu Lombok Timur: figur Mahagurunya para Tuan guru di Lombok, yang pengaruhnya meliputi kawasan Asia Tenggara. Murid-muridnya tersebar di kawasan itu. Sederet nama lain juga tak kalah berjasa, seperti Tuan Guru Amin Sesela, Tuan Guru Abdul Gaffur, Tuan Guru Lopan, Tuan guru Saleh Hambali dan lain-lain. Mereka adalah tokoh-tokoh yang telah berjasa besar meletakkan keislaman dan perubahan sosial bagi masyarakat Sasak. Perjuangan dan dakwah mereka tercatat di hati masyarakat Lombok. Oleh karenanya generasi Sasak perlu menulis kiprah mereka, agar kita bisa mengenang dan meneladani perjuangan mereka di masa-masa mendatang.

 

Tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun kepada tokoh-tokoh tersebut, pada kesempatan ini saya hendak menulis refleksi-subjektif saya tentang tuan guru Zainuddin Abdul Madjid. Seorang figur yang namanya telah disemat sebagai pahlawan Nasional asal Nusa Tenggara Barat, wabil khsusus Lombok. Saya juga hendak melepas diri dari perdebatan soal siapa yang paling layak menjadi delegasi Pahlawan Nasional NTB dan siapa yang paling berjasa dalam pengusulan gelar tersebut. Sebab perdebatan semacam itu, menurut saya, tidak produktif, dan menghabiskan energi. Bangsa Sasak telah lama menempati posisi subordinatif dan subaltern. Maka sikap terbaik saat ini adalah: mari kita rayakan hari pahlawan dengan meneladani perjuangan sosok yang telah resmi diberi gelar pahlawan nasional. Sembari menyiapkan nama-nama lain yang dianggap layak diusul menjadi pahlawan nasional.

 

Tuan Guru Zainuddin dan Proyek Politik Pengetahuan

 

Untuk mengenang dan merefleksikan perjuangan Tuan Guru Zainuddin, saya tertarik menggunakan terminologi “Politik Pengetahuan” (The Politics of Knowledge). Istilah ini saya pinjam dari Omid Safi, seorang Sarjana Islam pakar Sufisme dan Islam Klasik dalam buku “The Politics of Knowledge in Premodern Islam: Negotiating Ideology and Religious Inquiry” (The University of North Carolina Press, 2006). Dari perspektif ini, kita hendak melihat bagaimana Tuan Guru Zainuddin berkiprah dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui madrasah-madrasah yang didirikan dan dirintisnya. Lalu bagaimana upaya transformasi pendidikan yang dilakukan berdampak bagi perubahan sosial masyarakat Sasak.

 

Saya ingin memulai dari ungkapan Michael Edward: “In an age when wealth and power present a more diffuse and benign face to the world, the soft authority of knowledge is ever more important as a force for social change. The politics of knowledge – how ideas are created, used and disseminated – represents a key issue for the social change community”. (Baca: Edward, Know-How’, ‘Know-What’ and the politics of knowledge for social change dalam OpenDemocracy.net). Ungkapan di atas memberi pesan bahwa: ketika kekayaan dan kekuasaan terlalu jinak dan takluk di hadapan dunia, maka otoritas ilmu pengetahuan lebih dibutuhkan sebagai kekuatan dalam melakukan perubahan sosial.

 

Dalam kaitan itu, kita mengenang bahwa sejak kepulangannya dari Makkah, Tuan Guru Zainuddin lansung konsen pada isu pendidikan. Ia memulai kiprahnya dari pesantren darul Mujahidin (1934) sebagai sentrum pengembangan ilmu pengetahuan (keislaman). Dalam rekam sejarah, pesantren itu ceritanya sempat ditutup oleh keganasan kolonial Jepang. Namun demikian, meski pun secara formal pesantren itu ditutup, aktivitas pengajaran tidak pernah berhenti dengan berbagai strategi (Lihat: Fahrurrozi, Nahdlatul Wathan: Refleksi Keislaman, Kebangsaan, dan Keummatan, 2019).

 

Dari intimidasi-intimidasi Jepang terhadap ummat Islam dan lembaga pendidikannya, kelak Tuan Guru Zainuddin menyusun wirid-wirid dan do’a yang kemudian disebut Hizib Nahdlatul Wathan. Hal itu sangat jelas dalam muqoddimah Hizib yang disampaikan tuan guru Zainuddin. Dalam situasi itulah sebetulnya hizib muncul. Yakni pada momen colonial encounter, di dalam upaya mengantisipasi dan melawan intimidasi Jepang. Pada titik ini, maka Hizib Nahldlatul Wathan menjadi ideologi perlawanan yang tumbuh dalam kesadaran suprastruktur (suprastrucutre consiousness), dan sekaligus menjadi kesadaran struktur (structure conciesnees) jama’ah Nahdliyin atas realitas material keterjajahan. Ideologi perlawanan ini bertumbuh dari nilai-nilai religio-propetik yang bersumber wirid dan do’a do’a.

 

Tidak berhenti sampai di situ, menyusul kemudian Tuan guru Zainuddin mendirikan Nahdlatul Wathan Dinyiyah Islamiyah (1935), dan sekolah khsusus kaum perempuan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (1943). Di tahun-tahun itu, sekolah khusus perempuan tentu saja masih sangat langka di Lombok. Namun Tuan Guru Zainuddin memiliki gagasan visioner dan melampaui zamannya. Sebelum wacana gender dan feminisme populer seperti belakangan ini, ia telah meletakkan dasar kesetaraan bagi perempuan dalam bidang pendidikan di NBDI (lebih lanjut baca: Ulyan Nasri, Pemikiran Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Tentang Pendidikan Islam Perempuan Dan Implementasinya Di Madrasah Nahdlatul Wathan, tesis Pascasajrana UIN Suka, Yogya, 2014).

 

Tuan Guru Zanuddin juga memodernisasi sistem pendidikan Islam, yakni dengan menggunakan sistem klasikal (jenjang kelas) seperti pengalaman beliau ketika belajar di Madrasah Shaulatiyyah Makkah. Ia juga mengubah metode belajar dan menambah referensi kitab-kitab berbahasa Arab dalam kurikulum. Langkah-langkah itu diambil, karena di Lombok saat itu mayoritas pengajian dilakukan dengan cara “ngamarin”, dalam arti bahwa tuan guru dakwah keliling ke kampung-kampung untuk menyampaikan nasehat-nasehat agama. Dan sumber-sumber keislaman yang digunakan juga dominan kitab berbahasa Arab-Melayu. Meskipun tak jarang juga yang berbahasa Arab.

 

Melihat situasi itu, Tuan Guru Zainuddin memperkuat kualitas literasi keislaman, yakni dengan mengajarkan “thullab” kitab-kitab sumber primer yang berbahasa Arab. Langkah ini tentu bukan berarti ia anti terhadap sumber-sumber kitab Arab melayu. Ia bahkan sebetulnya ikut melestarikan tradisi Arab-Melayu dalam bentuk karya Nazham “Batu Ngompal”.

 

Dalam kerangka politik pengetahuan, apa yang dilakukan tuan guru Zainuddin itu, dapat dipahami sebagai upaya menggumuli kembali sumber-sumber primer Islam klasik (refashioning of the Muslim past) dan lalu mengimajinasikan trajektori masa depan masyarakat Islam Lombok (reimagining of the Muslim Sasak future). Sebab Islam dalam rentang sejarah akan selalu bersumber pada norma-norma tekstual, dan kemudian akan dipengaruhi oleh wawasan kosmopolitan dan lokal dengan segala dinamikanya. Dalam proses pembentukan pengetahuan itu, sudah pasti melibatkan geo-linguistic dan socio-kultural yang kemudian memunculkan interaksi pemikiran atas nilai-nilai Islam klasik dan perubahan perubahan sosial yang dihadapi masyarakat. Oleh karenanya,mungkin dengan alasan tersebut, tuan guru Zainuddin terus menjaga mata rantai dan jejaring keilmuan dengan mendirikan Ma’had darul Qur’an wal Hadis pada tahun 1965.

 

Kenapa tahun 1965? Saya menduga-duga karena di tahun 60-an, kontestasi ideologi pemikiran begitu kuat di Indonesia, dari kiri-komunis hingga kanan-liberal sedang mengalami puncak perseteruannya. Kehadiran ma’had boleh jadi dikehendaki sebagai benteng pemikiran “keislaman aswaja” di tengah perang pemikiran yang sedang menjangkiti kaum muda saat itu. Dengan demikian, ma’had dalam cita-cita ideal Tuan Guru Zainuddin adalah wadah pengkaderan generasi muda Nahdlatul Wathan dalam bingkai keaswajaan. Kelak dari ma’had pula lahir murid-muridnya sebagai generasi penerima estafet perjuangan dan dakwah Nahdlatul Wathan. Itulah cita-cta idealnya.

 

Dakwah dan Strategi Kebudayaan
Dalam Islamisasi Nusantara, relasi dakwah dan budaya begitu melekat. Oleh karenanya, Islam dengan cepat berkembang dan diterima secara luas di negeri ini. Sebab melalui budaya, orang dan kelompok mendefinisikan diri mereka sendiri, menyesuaikan diri dengan nilai-nilai bersama dalam masyarakat. Budaya mencakup banyak aspek dalam kehidupan manusia: seperti bahasa, adat istiadat, nilai, norma, adat istiadat, organisasi, dan lain-lain. Sebuah “bangsa” tidak akan eksis jika orang tidak hidup berdampingan secara kebudayaan.

 

Bagaimana Tuan Guru Zainuddin menggunakan strategi kebudayaan? Ada beberapa aspek perjuangan dakwahnya yang bisa kita telaah bersama. Namun saya hendak membahas dua poin saja:

 

Pertama, Tuan Guru Zainuddin menciptakan lagu lagu bahasa Sasak dalam pendekatan dakwah. Salah satunya yang amat melekat di telinga saya adalah:”Pacu gama’”. Lagu itu bersenandung ajakan untuk taat beragama. Petikan liriknya:” inak amak-ku, semeton jaringku pade, ndek narak ita gin kekal lek dunia. Daka’ te sugih daka’ te bangsa mulia, ndk narak guna, mun ndk narak agama”. Dan masih banyak lagi lagu-lagu Sasak yang diciptakan Tuan guru Zainuddin. Dengan cara ini, tuan guru Zainuddin menunjukkan bagaimana menyampaikan pesan agama dalam kerangaka: “bi lisani qaumi”

 

Kedua, Mendirikan ormas Islam NW sebagai ormas Islam lokal tahun 1953. Jauh sebelum NW berdiri, cukup banyak ormas Islam telah berkembang di Indonesia. Dua kekuatan terbesar adalah NU dan Muhammadiyah sebagai representasi Ormas Islam yang tumbuh di tanah Jawa, lalu kemudian menyebar ke luar pulau Jawa. Pendirian NW menunjukkan kemandirian Tuan Guru Zainuddin. Ia memberi teladan bahwa orang sasak harus mampu berdiri sendiri, mampu mengelola organisasi sendiri. Meskipun kita mafhum bahwa etnik Sasak memiliki populasi kecil di pulau yang mungil dan jauh dari pusat kekuaasaan. Tetapi Tuan Guru Zainuddin tidak mau orang Sasak berjiwa kerdil. Ia membangkitkan semangat orang Sasak agar percaya diri. Salah satu analogi yang kerap digaungkan adalah soal keagungan dan ketinggian Rinjani, yang dijadikan simbolisasi semangat orang Sasak.

 

Dalam kacamata studi poskolonial, Organisasi NW boleh dikatakan subaltern di antara ormas-ormas besar lainnya. Istilah subaltern menunjuk dan mengidentifikasi kelompok yang secara sosial, politik, dan geografi jauh dari pusat kekuasaan. Adalah Antonio Gramsci menciptakan istilah subaltern ini untuk mengidentifikasi hegemoni budaya yang meminggirkan kelompok sosial tertentu, dan menyangkal agensinya. Maka berdirinya NW sebagai organisasi minor adalah bentuk kemandirian dan kepercayaan diri untuk bersuara, mengambil peran, dan berjuang dalam kesetaraan. Seperti yang diungkapkan Gayatri Svipak: “Can Subaltern Speak”?, maka tuan guru Zainuddin sudah bersuara lantang. Ia berhasil mendirikan dan mengembangkan Ormas Islam NW, yakni Ormas yang lahir di tanah Lombok sendiri dan eksis hingga kini.

 

Terakhir, saya sebetulnya hendak menulis perjuangan parlementer Tuan Guru Zainuddin. Tapi sepertinya rekam jejak dan napak tilas perjalanan politiknya kita sudah maklumi bersama. Ada senarai panjang dan liku-liku yang penuh dinamika dalam ijtihad politiknya. Mulai dari berkecimpung di Masyumi, Parmusi, Golkar dan hingga PPP. Akumulasi perjalanan politik itu kelak membawanya pada satu kesimpulan pamungkas: cinta teguh pada Agama, cinta kokoh pada Negara. Anti ramzul itiihadi, lakil fi daya ittihadi.
Selamat Hari Pahlawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *