The Ḥūrīs or Virgins of Paradise? (Melacak Kontroversi dan Epistemologi Pembacaan Christoph Luxenberg atas Al-Qur’an)
7 mins read

The Ḥūrīs or Virgins of Paradise? (Melacak Kontroversi dan Epistemologi Pembacaan Christoph Luxenberg atas Al-Qur’an)

Muhammad Syafirin, 11/07/2025

Tafsir dan Genealogi Kritik Filologis terhadap Al-Qur’an

Diskursus modern tentang studi al-Qur’an mengalami transformasi radikal sejak munculnya pendekatan revisionis yang mempertanyakan asal-usul, konstruksi historis, dan bahasa kitab suci umat Islam tersebut. Di antara pelopornya adalah John Wansbrough, Michael Cook, Patricia Crone, dan kemudian diikuti oleh sosok anonim yang menerbitkan karyanya dengan nama samaran Christoph Luxenberg. Meskipun dibungkus dalam nuansa filologis dan historis, pendekatan ini tidak berdiri di ruang hampa, tetapi berakar pada proyek orientalisme akademik dan kontestasi epistemik terhadap otoritas tafsir Islam tradisional.

Christoph Luxenberg, melalui karyanya The Syro-Aramaic Reading of the Koran, mengajukan hipotesis bahwa teks al-Qur’an awal tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan merujuk pada bahasa Arab saja. Ia mengklaim bahwa sebagian besar kosa kata dan struktur al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh substrat linguistik Syro-Aramaik yang mendominasi wilayah Timur Dekat sebelum abad ke-7 M. Luxenberg mengarahkan pembaca pada kemungkinan bahwa makna-makna al-Qur’an yang selama ini diterima secara ortodoks telah “terganggu” oleh perubahan ortografi dan asumsi linguistik belakangan.

Munculnya pendekatan ini membawa kita pada pertanyaan mendalam: Apakah al-Qur’an sebagaimana dibaca umat Islam selama berabad-abad benar-benar mencerminkan makna asli yang diinginkan oleh teks? Ataukah makna itu dibentuk oleh sejarah kodifikasi, norma linguistik, dan tradisi tafsir yang berkembang dalam ruang otoritas ulama klasik?

Luxenberg dan Asumsi Bahasa: Syro-Aramaik sebagai Kunci Filologis

Luxenberg mendasarkan argumentasinya pada keyakinan bahwa bahasa Arab abad ke-7 belum berkembang secara sempurna sebagai bahasa tulis formal. Karena itu, ia meyakini bahwa komunitas awal Islam masih menggunakan bahasa Aramaik dalam komunikasi intelektual dan keagamaan. Klaim ini bukan tanpa dasar: Aram telah menjadi lingua franca di Timur Tengah selama lebih dari seribu tahun, terutama dalam literatur Kristen Siria dan Yahudi Babilonia.

Bertolak dari itu, Luxenberg menggunakan pendekatan comparative philology untuk membaca ulang teks-teks al-Qur’an dalam rasm Utsmānī (tanpa diakritik) dan mencoba menemukan padanan yang lebih masuk akal secara semantik dalam bahasa Syro-Aramaik. Hal ini melahirkan interpretasi baru terhadap sejumlah ayat. Salah satu kasus paling kontroversial yang dikaji Luxenberg adalah interpretasi terhadap istilah ḥūr ‘īn dalam Q.S. al-Dukhān [44]:54:

وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُوْرٍعِيْنٍ (‘Dan Kami pasangkan mereka dengan bidadari-bidadari yang bermata putih’)

Menurut mayoritas mufasir klasik, ayat ini menggambarkan kenikmatan surgawi berupa pasangan perempuan bermata indah yang dikenal dengan istilah “bidadari” atau ḥūr al-‘īn. Namun, Luxenberg mengusulkan alternatif pembacaan dari kata zawwajnāhum (“Kami pasangkan mereka”) menjadi rawwahnāhum (رَوَّحْنَاهُمْ) (“Kami buat mereka beristirahat”)—perubahan yang didasarkan pada bentuk tulisan rasm Utsmānī tanpa diakritik. Dengan demikian, frasa tersebut dapat dibaca sebagai: “Kami buat mereka beristirahat di antara [sesuatu yang] putih dan jernih.”

Luxenberg kemudian mengusulkan bahwa ḥūr bukanlah merujuk pada perempuan melainkan sebagai metonimi untuk “anggur putih”, sebagaimana dikenal dalam tradisi sastra Syriac. Demikian pula kata ‘īn yang secara literal berarti “mata”, menurutnya merupakan metafora untuk “penampakan” atau “kejernihan”. Sehingga frasa bi ḥūrin ‘īn dapat diartikan sebagai “di antara anggur putih yang jernih”, yang menurut Luxenberg lebih selaras dengan deskripsi surga dalam teks-teks Kristen Syriac abad ke-7.

Luxenberg melanjutkan tafsir ini terhadap delapan ayat lain yang memuat frasa ḥūr, serta tiga ayat lain yang berbicara tentang pelayan surga laki-laki (ghilmān). Ia mengklaim bahwa makna “bidadari” berasal dari interpretasi yang keliru terhadap bahasa dan konteks historis, dan bahwa deskripsi tentang “anggur putih surgawi” lebih masuk akal secara semantik dan historis.

Kritik terhadap Metodologi Luxenberg

Stefan Wild, dalam artikelnya Lost in Philology, memberikan kritik keras terhadap Luxenberg. Menurutnya, metode Luxenberg terlalu bertumpu pada asumsi ortografik tanpa memberikan kerangka historis yang jelas mengenai bagaimana bahasa Arab dan Aramaik bercampur di Makkah abad ke-7. Wild juga menyoroti bahwa Luxenberg tidak menyediakan bukti dokumenter yang memadai mengenai keberadaan praktik linguistik bilingual dalam masyarakat awal Islam.

Selain Wild, Angelika Neuwirth dan Nicolai Sinai juga mengkritik pendekatan hiperspekulatif Luxenberg. Bagi Neuwirth, al-Qur’an tidak dapat dibaca hanya sebagai teks tertulis, tetapi harus dilihat sebagai “oral text in a liturgical setting.” Karena itu, makna-makna Qur’ani tidak bisa dilepaskan dari performativitasnya dalam ruang ritual dan komunitas—suatu hal yang tidak diakomodasi Luxenberg.

Fred M. Donner juga menilai bahwa meskipun penting membuka ruang kemungkinan dalam pembacaan al-Qur’an, setiap pendekatan harus bersandar pada disiplin sejarah yang ketat dan tidak boleh mengabaikan kontinuitas tradisi tafsir Islam sebagai sumber pengetahuan.

Etika Pengetahuan dan Kolonialitas Tafsir

Pembacaan Luxenberg bukan sekadar pertarungan semantik. Ia adalah bagian dari pergumulan epistemologis yang lebih besar antara pengetahuan Islam internal (indigenous Islamic knowledge) dengan epistemologi modern yang bercorak Barat. Dalam pengertian ini, proyek Luxenberg dapat dibaca sebagai cerminan dari coloniality of knowledge, sebagaimana dikemukakan Walter Mignolo, di mana pengetahuan lokal (tafsir tradisional Islam) dianggap tidak sah kecuali diverifikasi oleh metode akademik Barat.

Yang luput dari perhatian banyak kritik adalah pertanyaan etis: bagaimana pembacaan terhadap teks suci yang hidup di tengah komunitas beriman dapat dilakukan tanpa menimbulkan alienasi? Apakah metode akademik yang diasumsikan “netral” benar-benar bebas dari bias ideologis? Dan sejauh mana komunitas Muslim dilibatkan dalam wacana yang mengkaji kitab suci mereka?

Simbolisme Surga dalam Islam: Antara Imajinasi dan Pengalaman Transenden

Interpretasi tentang ḥūr ‘īn tidak hanya soal semantik, melainkan menyangkut konsep teologis tentang imbalan surgawi. Bagi para teolog Muslim, deskripsi tentang surga adalah bentuk tasybīh yang bertujuan menggambarkan kebahagiaan akhirat dalam bentuk yang dapat didekati akal manusia. Deskripsi tentang bidadari, sungai anggur, dan kenikmatan fisik bukan semata literal, tetapi dapat dibaca sebagai simbol dari kenikmatan spiritual, ketenangan jiwa, dan pemenuhan batin.

Sayangnya, Luxenberg gagal mengakui kekayaan hermeneutika Islam yang sejak awal telah memiliki lapisan tafsir simbolik dan esoterik yang memandang surga sebagai kondisi spiritual, bukan geografis. Dalam arti ini, Luxenberg membangun straw man terhadap Islam seolah-olah seluruh tradisi tafsir hanya memahami ḥūr ‘īn secara literal.

Namun demikian, karya Christoph Luxenberg, menurut saya, telah memberikan kontribusi intelektual berupa provokasi metodologis dalam studi al-Qur’an. Ia memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru, meninjau ulang perangkat bahasa dan asumsi sejarah, serta menggugah keberanian berpikir lintas tradisi. Namun, pendekatannya juga mengandung kelemahan serius: minimnya metodologi historis, kecenderungan hiper-tekstual, serta absennya sensitivitas terhadap makna spiritual dan konteks komunitas.

Apa yang perlu dipelajari dari polemik ini bukan hanya isi tafsir alternatif, tetapi cara epistemologi Barat dan Islam saling berinteraksi, bertabrakan, atau saling memperkaya dalam menyusun makna dari teks yang sama. Luxenberg membuka wacana, Wild menantangnya, dan kita—sebagai peneliti dan pencari ilmu—didorong untuk menyusun jalan tengah yang lebih adil, historis, dan mendalam secara filosofis. Sekian!

Sumber:

Christoph Luxenberg. Die syro-aramäische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlüsselung der Koransprache. 2., überarbeitete und erweiterte Auflage. Berlin: Verlag Hans Schiler, 2004.

Versi Inggrisnya:

Christoph Luxenberg. The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran. Translated from German by Paul F. (pseudonym). Berlin: Verlag Hans Schiler, 2007.

Objek review:

bagian ke-15: “The Misreading and Misinterpretation of Thematic Contents”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *