Fiqih Kontemporer: Bagaimana Hukum Merekam Detik-detik Kematian sebagai Konsumsi Publik?
2 mins read

Fiqih Kontemporer: Bagaimana Hukum Merekam Detik-detik Kematian sebagai Konsumsi Publik?

Hari ini kita hidup di tengah-tengah kegermelapan tekhnologi. Salah satu tehknologi termutakhir yang hampir tidak pernah lepas dalam genggaman kita adalah handphone atau gadget. Hampir semua aktivitas manusia terjadi di ponsel pintarnya, mulai dari jual beli, silaturrahmi, belajar, diskusi, rapat dan sebagainya. Dengan kecanggihan handphone (HP) manusia semakin mudah saling berbagi dengan berbagai fitur yang tersedia seperti facebook, Whatsapp, Instagram dan Twiter.

 

Dengan adanya fitur-fitur tersebut, maka manusia dapat memperoleh informasi dengan cepat, informasi itu dapat berupa tulisan, foto bahkan sampai video secara terupdate. Kemudian bagaimana jika HP tersebut digunakan untuk merekam hal-hal yang bersifat pribadi seperti detik-detik kematian seseorang,  kemudian dibagikan kepada publik?. Dalam hal ini Prof. Ahmad Zahro menjawab persoalan ini dalam bukunya “ Fiqih Kontempore Edisi 1”

 

Sesungguhnya kematian merupakan rahasia Allah swt, semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Oleh karena itu, mengetahui waktu dan kematian seseorang secara tepat adalah hal yang teramat mustahil. Namun ada beberapa kasus di mana perekaman detik-detik kematian seseorang dapat dilakukan seperti pelaksanaan hukuman mati dan Eutanasia (Percepatan Kematian Secara Medis) dan pemenggalan oleh teroris.

 

Menurut Prof Zahro, merekam detik-detik kematian seseorang untuk kepentingan hukum dan kemaslahatan umum hukumnya boleh. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi:

“Tasharruful Imam `Ala Ra`iyyah Manuthun Bil Maslahah”

Artinya: Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan

 

Hukum terkait dengan perekaman detik-detik kematian seseorang dapat berubah jika hasil rekaman tersebut kemudian disebar dan dikonsumsi oleh khalayak ramai. Problem ini kemudian dihubungkan dengan kaidah fiqih yang berbunyi:

“Al-Ashlu Fi Asy-sy` Al-Ibahah Hatta Yadullad Dalilu `Alat Tahrim”

Artinya: Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya

Berdasarkan hukum fiqih formal permasalahan ini memang cukup sulit diselesaikan sebab tidak ada dalil yang pasti dari Al-Qur`an maupun al-Hadits sebagai sumber hukum Islam yang utama. Jika dikaitkan dengan ayat-ayat ghibah maka hal tersebut dapat menjadi haram, namun apabila hal tersebut bertujuan untuk memberi peringatan terkait kepastian kematian maka diperbolehkan, berdasarkan surat Qaf ayat 19 yang artinya:

“Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya, itulah yang kamu selalu ari daripadanya”

Namun untuk menyelesaikan masalah ini, Prof. Ahmad Zahro berdalih pada fiqih moral yang menawarkan rasa kemanusiaan. Maka, kegiatan merekam dan menyebarkan peristiwa detik-detik kematian seseorang merupakan hal yang tidak pantas dilakukan meskipun tujuan perekaman itu untuk memperingati manusia tentang adanya kepastian sakratul maut. Sedangkan masih banyak cara untuk saling memperingatkan kematian diantaranya seperti menghadiri pemakaman dan ziarah kubur.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *