Orang Munafik Hanya Berjalan dengan “Cahaya” [Studi Kritis Nifakisme Era Nabi Versus Kiyai Pesantren]
Muhammad Syafirin; Rabu 01 Desember 2021
Saya ingin memulai catatan ringan ini dengan sebuah afirmasi bahwa, ‘terkadang manusia sering salah persepsi tentang apa yang disebut sebagai ‘cahaya’!. Kita bisa saja sepakat untuk menyebut cahaya itu sebagai sebuah sinar yang dengannya; dapat menerangi sesuatu yang samar atau gelap. Tetapi pernahkah kita menyadari, bahwa kita sering terjebak oleh ‘cahaya’ bahkan juga ‘menuduh’ nya sebagai satu-satunya penyelamat dalam tikaman kegelapan. Padahal, eksistensi ‘cahaya’ itu tidak selamanya berguna dan memberi manfaat, ia bahkan bisa menjadi malapetaka dalam beberapa sebab; seperti misalnya bagi seorang yang sedang mencuri. Dia tidak lagi mengharapkan cahaya! mengapa? Karena cahaya akan semakin memperjelas citra buruknya dan menggagalkan rencana busuknya. Namun bilamana aksinya telah selesai, ia kembali berbohong dan berdusta atas nama malam untuk tidak menafikan eksistensi ‘cahaya’. Dari sini, saya berpandangan bahwa, ‘cahaya’ hanya akan memberi manfaat bagi orang yang jujur melihat kegelapan dan kesamaran; bukan bagi mereka yang justru menggelapkan diri dengan dalih “cahaya”.
Judul tema yang saya angkat kali ini, barangkali, menyentak hati Anda pada saat pertama kali membacanya. Dengan berat hati saya katakan, sebetulnya tulisan ini adalah respon kritis saya atas beberapa kasus aktual (nifakisme) yang, bagi saya, adalah bagian dari dilema kultural yang (terkadang dan atau sering) dipraktikkan oleh seorang santri di lingkungan pesantren. Saya tidak mendakwa santri secara general, tetapi saya hanya ingin merespon nifakisme yang pernah saya lihat. Tapi jika ingin jujur, sebenarnya persoalan ini kerap kali terjadi, alih-alih menarik kesadaran jiwa akan hal itu, sang nifakisme pun justru malah menikmati dan mendawamkannya sesuka hati. Bukankah hal itu merupakan kegalatan vital bagi seorang yang berpredikat ‘santri’? Lebih-lebih perkara agama beserta skop tuntunannya bukan lagi persoalan yang asing di telinga mereka. Maka inilah yang kemudian menghentak hati saya untuk perlu mengkritisi persoalan ini.
Berbicara term nifakisme (nifak), istilah ini terambil dari bahasa Arab ‘nāfaq’ dengan bentuk infinitif (maṣdar) nya ‘nifāq’ yang berarti “menampakkan keimanan secara lisan tetapi menyembunyikan kekufuran di dalam hati” (Al-Mausû’ah al-Qur’āniyyah Dirāsah al-Alfāẓ; 639). Dalam bahasa Indonesia, nifak diartikan dengan orang yang suka berpura-pura; munafik (hipokrit). Al-Qur’an sendiri menggambarkan temperamen orang-orang semacam ini dalam berbagai tempat, seperti kepribadian mereka yang “bermuka ganda” (QS. Al-Maidah [5]: 41, QS. Ali Imran [3]: 167, dan QS. Al-Hasyr [59]: 11), kemudian hati mereka yang tidak memiliki konsistensi akidah yang jelas. Bilamana Ia berada di lingkungan orang muslim, ia akan tampil seolah-olah muslim sejati yang memiliki nilai religiositas tinggi, tetapi bila dia berada di lingkungan orang kafir, dia akan bersikap sebaliknya (QS. Al-Baqarah [2]: 8, 9 dan 14; QS. An-Nisa’ [4]: 142-143). Selain itu, temperamen orang munafik adalah ‘pembohong’ atau pandai berculas (QS. Al-Munafiqun [63]: 1); ingkar janji; khianat (QS. AS. At-Taubah [9]: 65); bersikap riya’ (QS. QS. An-Nisa’ [4]: 142) dan lain sebagainya.
Al-Qur’an menyebut padanan kata ‘nifāq’ yang berarti kemunafikan, sebanyak 37 kali dalam berbagai ayatnya. Hal ini menandakan bahwa perbuatan ‘nifāq’ bukanlah news pandemi, melainkan trend lama yang telah mewabah semenjak Al-Qur’an diwahyukan kepada kanjeng Muhammad. Maka tidak heran bila pandemi ‘nifāq’ masih axis dan tetap bercongol di jutaan hati umat Islam sampai kapanpun, karena di masa Nabi sendiri, virus ‘nifāq’ memang sulit diberantas, layaknya Covid-19 yang sedang dan entah sampai kapan lamanya meresahkan umat manusia di seluruh dunia.
Baiklah, kita sepakat bahwa pandemi ‘nifāq’ telah menjadi wacana global semenjak masa Nabi, tetapi seiring perkembangan generasi dan ideologi keagamaan dari masa ke masa, pandemi ‘nifāq’, bagi saya, telah mengalami paradigma kultural. Artinya jika substansi ‘nifāq’ pada masa Nabi tergambar dari etika moral-teologis para sahabat waktu itu, maka pada era Kiyai sekarang ini substansi ‘nifāq’ nya tergambar dari etika moral-khidmatis para santrinya.
Sebelum saya memberikan komentar kritis terhadap pandemi ‘nifāq’ yang saya maksudkan di atas, saya pertama-tama ingin memulai dari konteks Al-Qur’an (era Nabi) terlebih dahulu, yang kemudian akan saya komparasikan dengan trend ‘nifāq’ pada era Kiyai Pesantren. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 19-20, Allah mengilustrasikan lihainya keculasan pelaku ‘nifāq’.
اَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌۚ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِۗ وَاللّٰهُ مُحِيْطٌۢ بِالْكٰفِرِيْنَ ١٩ يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ ۗ كُلَّمَآ اَضَاۤءَ لَهُمْ مَّشَوْا فِيْهِ ۙ وَاِذَآ اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَاَبْصَارِهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ࣖ ٢٠
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat dengan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka, karena (mendengar suara) petir petir, sebab takut pada kematian. Padahal Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar menyambar penglihatan mereka. Setiap kali mereka mendapat cahaya, mereka berjalan, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berdiri. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Hujan artinya kesuburan sesudah kering, dan kemakmuran sesudah kemarau. (Tafsir Al-Azhar, jilid I, 135). Maulana Muhammad Ali menegaskan bahwa ‘hujan’ pada ayat di atas merupakan tamsil yang menggambarkan temperamen orang-orang munafik (The Holy Quran, 18). Hujan itu bermakna petunjuk Ilahi (al-hidāyah), iman dan al-Qur’an, sedangkan tindakan menyumbat telinga dengan jari-jarinya adalah sebagai representasi penolakan kaum munafik terhadap preskripsi Tuhan yang mampu menyuburkan hati mereka. Kemudian kegelapan, petir, dan kilat yang menakuti jiwa mereka bermakna keengganan mereka untuk mengamalkan tuntunan agama yang diajarkan Kanjeng Nabi. (Tafsir Al-Misbah, jilid I, 116)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah kisah menarik di balik turunnya (sabab an-nuzūl) ayat 19-20 di atas. Pernah suatu ketika di suasana malam yang gelap gulita, dua orang munafik mencoba melarikan diri dari Kanjeng Nabi dengan maksud menjalin koalisi dengan kaum musyrikin. Di tengah perjalanan, keduanya diserang oleh rerimbunan hujan sebagaimana yang tergambar dalam ayat ini. Cahaya kilat, amarah petir serta gemuruh dahsyatpun datang menghampiri. Merekapun takut akan hal itu, seakan-akan malakul maut turun beriringan bersama petir untuk menerkam telinga mereka, sedang mereka akan mati karenanya. Ketika kilat mulai berkelabat, mereka berjalan di bawah cahayanya! Tetapi jika kilat itu berhenti berkelabat, mereka menghentikan perjalanan sejenak, sebab tidak mampu untuk menerawang kepekatan malam. Dengan rasa takut dan was-was yang mencekam, akhirnya keduanya berkata, “Esok pagi, sebaiknya kita mendatangi Muhammad! Kita akan memperbaharui baiat dan meletakkan tangan-tangan kita ini di atas tangannya!”. Pada pagi harinya, merekapun pergi mendatangi Kanjeng Nabi untuk berbaiat dan memperbaiki keislamannya. (Quranic Wisdom, 38).
Dalam Al-Durr al-Mantsūr, Al-Suyuti mengelaborasi temperamen kaum munafik dalam kisah Ibnu Mas’ud di atas. Pertama, maksud dari tindakan mereka (munāfiq) yang kabur, kemudian meletakkan jari-jari di telinganya saat gemuruh, kilat dan petir menyambar; adalah setiap menghadiri majelis kanjeng Nabi, mereka selalu menutup telinganya karena khawatir jika apa yang dibicarakan Kanjeng Nabi itu berkenaan dengan kebobrokan mereka. Karena ucapan Nabi adalah hukum mutlak saat itu, maka jika sampai sahabat lainnya mendengar Nabi mengungkap kejahatan mereka, niscaya sahabat-sahabat itu akan mengecam atau bahkan membunuh mereka.
Kedua, bahwa makna mereka akan berjalan di setiap kali melihat kilat (cahaya) berkelabat dan berhenti jika cahaya itu menghilang; adalah apabila harta dan keluarga mereka sejahtera dengan hasil ghanimah (kemenangan) perang, mereka akan berkata, “Sungguh agama Muhammad memang benar kali ini!”. Tetapi di saat kekayaan dan kehidupan keluarganya ditimpa kerugian (balā’), meraka justru berkata sebaliknya, “Musibah ini karena agama Muhammad”. Akhirnya merekapun murtad menjadi orang kafir, seperti orang munafik yang ditikam kegelapan malam setelah kilat berakhir. (Al-Durr al-Mantsūr, jilid I, 81-82).
Dari penjelasan Al-Suyuti ini, saya mempersepsikan bahwa ‘nifakisme’ era Nabi itu tergambar dari dua hal; pertama, mereka senang dengan ketertutupan; dalam arti keengganan untuk mendengarkan ajaran Nabi dan takut mendengar sesuatu yang tidak selaras dengan self-interest mereka. Kedua, bagi kaum munafik, standarisasi kebenaran adalah ‘might is right’ atau kemujuran material, bukan straight teologisnya, sehingga tujuan mereka mengikuti Kanjeng Nabi, sebetulnya, bukan karena menginginkan esensi Islamnya, tetapi bukti fisis dari dominasi agama itu.
Selanjutnya, kita beralih kepada isu yang kedua; dan ini, sebetulnya, cukup krusial bagi saya; yaitu bagaimana trend nifāq yang terjadi di lingkungan pesantren? Namun sebelumnya saya ingin memohon ampun kepada Allah jika pemikiran saya ini kurang berkenan di hati Anda. Anda boleh tidak sepakat dengan pendapat saya, atau bahkan ingin mengkritisi balik; silahkan, no problem..! Karena bagi saya, ungkapan Marcus Aurelius (121-180 M) memang ada benarnya. Apa yang kita lihat hanyalah sebuah perspektif; bukan kebenaran mutlak. Boleh jadi, apa yang saya anggap sebagai suatu problem, tidak selamanya mencitrakan keburukan dalam sudut pandang Anda. Ampure..!
Baiklah kita lanjutkan! Karena isu pertama yang saya angkat sebelumnya berdasarkan atas dilālah (pemahaman) ayat, maka pada isu kedua ini saya akan menggunakan dilālah qaul sebagai kerangka wacana. Dilālah ayat maksdunya ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan dilālah qaul maksudnya adalah pendapat ulama dalam kitab turost; kitab kuning pesantren.
Di dalam dunia pesantren, terdapat salah satu kitab yang cukup fenomenal dan bahkan menjadi pegangan wajib bagi seorang santri pesantren, kitab itu bernama Ta’līm al-Muta’allim. Pada bagian rub’ al-awwal kita ini, kita dapat melihat salah satu faṣl (sub tema) yang membahas tentang kemestian mengangumkan ilmu beserta ahlinya (faṣl fi ta’zīmi al-‘ilm wa ahlihi). Dalam faṣl ini terdapat sebuah ibarat yang mengatakan: قِيْلَ الْحُرْمَةُ خَيْرٌ مِنَ الطَّاعَةِ أَلاَ تَرَى أَنَّ الإِنْسَانَ لاَ يَكْفُرُ بِالْمَعْصِيَةِ وَ إِنَّمَا يَكْفُرُ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ “Ada yang berkata bahwa, menghormati (memuliakan) lebih baik daripada taat! Apakah engkau tidak menyaksikan betapa manusia itu, sebetulnya, tidak menjadi kufur sebab maksiatnya, melainkan ia kufur karena menafikan rasa hormat”.
Saya ingin mengilustrasikan sabab nuqil (ingat! bukan nuqūl ya) ibarat ini sebagaimana dilakukan Ibnu Mas’ud pada QS. [1]: 19-20 sebelumnya. Dan apa yang akan saya ceritakan ini adalah realitas yang pernah saya lihat secara lansung di penghujung tahun 2018 yang lalu.
Pertama, Saya merasa bahwa banyak santri-santri sekarang yang memahami ibarat ini secara tekstual-pragmatis, sehingga mereka terjebak dengan formalitas lahiriah teks. Mereka mengamalkan tuntunan teks tetapi mengabaikan muara (esensi) teks itu sendiri. Contoh misalnya, di depan Kiyai, mereka tampak seperti santri yang ‘loyal ukhrawi’ (shaleh), tidak mau ketinggalan jamaah shalat, membaca al-Qur’an, mengaji dan gotong royong. Akan tetapi, di belakang Kiyai? Lā maḥalla laha minal i’rāb! Justru yang terjadi adalah inkonsistensi antara etika religius dengan moral pose yang telah mereka sama-sama dapatkan di sang Kiyai. Selain itu, di depan Kiyai pura-pura rajin membaca Qur’an, sementara di kamarnya sibuk main game semalaman. Kitab-kitab kuningnya hanya sebagai pajangan lemari tanpa dibaca dan dimuthāla’ahnya. Shalat subuh? bodo amet! Di depan Kiyai tutur bahasanya elegan bertampi asih, tetapi sesama teman saling umpat, gibah dan sebagainya. Santri-santri semacam ini tidak patut dicontohi, mereka menganggap ibarat “al-ḥurmatu khairun minaththā’ah” hanya sebatas hormat dan manut di depan Kiyai saja, padahal esensinya di situ adalah bagaimana rasa hormat itu membuat mereka merasakan kehadiran Tuhan serta mengimplementasikan moral pesantren itu di manapun mereka berada. Kalau boleh mentakwil ibarat di atas, maka saya akan memaknainya begini, “al-ḥurmatu billāhi afdhalu min thā’ati al-asyyā’” artinya bebasnya, mencari muka di hadapan Tuhan lebih utama daripada mencari muka di hadapan selain-Nya. Khidmat kepada Kiyai bagus, tetapi akan lebih sempurna bila disertai dengan rasa malu kepada Tuhan yang senantiasa mengawasi gerak gerik kita.
Kedua, saya pernah menyaksikan seorang santri yang berani meninggalkan shalat fardlu demi mengejar barisan terdepan halaqah Kiyainya. Ceritanya begini, waktu itu sang Kiyai akan memulaikan pengajian ba’da magrib di masjid pondok, sementara itu si santri baru tiba di masjid itu dan belum sempat melaksanakan shalat fardlu. Tetapi karena ego ingin selalu terlihat rajin di depan Kiyai, akhirnya si santri ini tidak jadi melaksanakan shalatnya dengan niat akan di qadha usai pengajian. Setelah saya melakukan introgasi pasca Isya di asrama pondok, ternyata dia mengaku belum shalat magrib sebab khawatir dianggap malas dan tidak istiqamah duduk di depan Kiyai.
Apa yang dialami santri di atas merupakan sebuah dilema yang meniscayakan pengambilan keputusan yang tidak sederhana. Di satu sisi, dia menyadari apa yang dilakukannya itu adalah suatu kesalahan, tetapi pada saat yang sama dia meyakini bahwa keputusan yang diambilnya itu bertujuan menghormati dan menjaga prasangka sang Kiyai terhadap dirinya. Menurut saya, santri semacam ini telah terjebak oleh asumsi personalnya sendiri, sehingga secara tidak sadar melakukan tiga kebohongan; pertama, bohong kepada dirinya sendiri; kedua, khianat kepada ajaran Kiyainya, ketiga; dia telah meremehkan syari’at, yaitu dengan mengutamakan yang sunnah dan membuang yang wajib.
Maka berdasarkan dari kajian wacana di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa trend nifāq yang terjadi baik di lingkungan pesantren maupun yang terjadi pada era Nabi memiliki kesamaan nilai secara substansi, namun yang membedakannya adalah kalau nifāq era Nabi itu lebih bersifat material-teologis, sedangkan praktik nifāq era Kiyai pesantren di atas bersifat tekstual-khidmatis. Jika “cahaya” yang membuat kaum nifāq masuk Islam pada masa Nabi digambarkan dengan bukti fisis dari dominasi agama itu, maka “cahaya” ala nifakisme pesantren adalah Kiyai itu sendiri. Dalam artian sederhana, mereka akan pasu dan pacu bila sedang bersama Kiyai, dan bersikap sebaliknya bila tidak dilihat Kiyai.
#Salam Literasi Award STAI Darul Kamal 2021..!
Sumber Bacaan:
Ali, Maulana Muhammad (2006). The Holy Quran Translated H. M. Bachrun. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
Al-Suyuthi, Jalaluddin (2003). Ad-Durrul Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Markaz Hijr.
HAMKA. (n.d.). Tafsir Al-Azhar. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
Rakhmat, J. (2012). Quranic Wisdom; Menyesap Kearifan Al-Qur’an melalui Tafsir bil Ma’tsur. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish (2002). Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
_____________ (2007). Al-Mausû’ah al-Qur’āniyyah Dirāsah al-Alfāẓ. Jakarta: Lentera hati.
Assalamualaikum wr wb
Yth Guruku GUS Syafirin QH,
Subhanallah, ini pembahasan yang sangat menarik dan perlu di tiru oleh kita semua.
Banyak sekali saya temukan, seperti apa yg terjadi di tengah kita, baik itu masyarakat maupun di lingkungan Pondok Pesantren.
Sebagaimana yg terjadi dengan adanya nifaq tersebut, yang mana menjalankan lisan dengan vokal bicara tentang makna yg hakiki dalam beriman kepada Allah. Akan tetapi sama sekali jauh dari persepsi yg kita harapkan.
Semoga jurnal ini bermanfaat bagi setiap pembaca yang membacanya akan mendapatkan pengalaman ilmu yg mendalam.
Amiinnn
Cahaya yang selalu saya ponis sebagai penerang, petenjuk dan gelombang transversal yang tegak lurus dan bergetar:v , kini penulis menggeser mindset saya memberi ruang baru untuk hakikat cahaya yang lain. Apalagi di suguhkan dengan kisah² pada zaman Rasulallah SAW dan kisah² yang penulis pure ngalamin sendiri. Makin keserap alur sama clue cahayanya kemana >.<
Sooogreatthor! 👍
Amin ya Rabbal ‘Alamin.. syukron sudah mampir di website Aliflam ust kabir…
MasyaAllah luar biasa sambutannya mbak putri cumi.. syukron katsir ‘ala ihtimamikum..🙏