Dinamika NW dan NWDI Pasca Damai dan Legalitas
Ini tulisan pertama saya setelah NWDI didaftarkan sebagai organisasi kemasyarakatan di Kemenkumham. Meskipun banyak yang meminta saya untuk berkomentar, menulis, atau berhujah terkait perkembangan keorganisasian tersebut, namun saya memberikan jawaban yang sama. “Belum waktu yang tepat. Lihatlah ke mana dan bagaimana air mengalir, setelah itu waktu tepat pasti tiba.” Jadi tulisan saya ini bersifat improvisasi. Sebagaimana kaedah improvisasi yang merespons alur di luar aliran, maka tulisan ini samasekali tidak untuk berkomentar tentang “polemik” di kalangan nahdotain.
Saya tidak ingin melihat narasi yang dibangun oleh semeton jari saya di NW dari sudut pandang bad side (yang terbaru narasi yang dibangun oleh semeton sejati nan abadi dan juga guru saya, Prof. Dr. TGH. Fahrurrozi Dahlan, M.A., QH). Saya mengenali mereka bukan sebagai pendosa. Mereka adalah orang yang jauh lebih baik dibandingkan saya, dari segala segi. Saya berdosa ialah umum, mereka bersalah ialah kecil kemungkinan. Begitulah komparasi saya dengan semeton saya di NW. Dasar ini menjadi pegangan saya yang, tidak mungkin ada sisi kegelapan dari bangunan narasi tersebut. Jika pun ada, ia tak lebih dari sekadar ketersinggungan saudara kepada saudara yang lain. Ketersinggungan yang pasti terhapuskan oleh gema sholatunnahdlatain.
Seperti kata pepatah, permusuhan abadi sering disebabkan oleh masalah ringan. Itulah sebabnya ia abadi sebab tak sampai menimbulkan kehancuran. Begitulah analogi yang selalu saya pegang untuk melihat setiap narasi yang dibangun oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Permusuhan yang tak lain dan tak bukan ialah ekspresi cinta paling murni, seperti yang dikatakan oleh Sigmund Freud. Kalau berpijak pada teori Freud, malah cinta yang paling rumit ialah cinta yang sama murni. Karena kadar kemurnian yang sama tinggi, jadi agak pelik menemukan indikator antara dua situasi berlainan, yakni situasi kedamaian cinta itu atau pun ketika cinta itu terekspresikan ke dalam narasi permusuhan. Maka sekali lagi, dalam koridor ini, saya ingin melihat narasi semeton saya di NW sebagai anak pinak yang lain dari kemurnian cinta itu.
Apa sebenarnya yang terjadi pada semeton saya di NW pada yang terbaru ini? Bagi saya, ialah kecewa. Saya menduga, mereka tidak pernah mengira alur cerita cinta murni itu akan terserak ke dalam satu adegan yang lain. Mereka tak pernah menyangka, NWDI yang semula asas perjuangan dalam bentuk madrasah: tempat mengaji, akan berdiri sebagai satu organisasi kemasyarakatan yang diakui pemerintah. Radar mereka tidak menangkap sinyal ini karena memang letupan cinta kadang memang tak terduga.
Lantas kenapa cinta itu mereka ekspresikan dalam kekecewaan? Sedikitnya, ada dua sebabnya. Pertama, mereka benar-benar kehilangan. Mereka sungguh berada dalam ruang yang tidak terduga, di mana akhirnya mereka terpisah secara organisatoris dengan saudara mereka sendiri. Resmi berpisah secara hukum. Perpisahan yang sejatinya tidak mereka inginkan. Tidak ada dalam imajinasi dan rancangan mereka untuk berpisah. Terutama karena mereka meyakini sebagai NW yang sejati, sudah pasti satu dosa kepada pendiri jika terbersit niat untuk berpisah menjadi dua. Mereka tak ada landasan teoritis, ideologis, historis, dan filosofis untuk merancang perpisahan. Jadi, perpisahan secara hukum yang terjadi ini merupakan kekecewaan mendalam. Seperti kata Freud, perpisahan ini merobek bawah sadar mereka yang sejatinya dialiri madu cinta murni terhadap saudara sendiri.
Dari sudut pandang psikoanalisis Lacanian (Jacques Lacan, ilmuwan Prancis) dengan menggunakan istilah treatment yang melihat ketidaksadaran juga terstruktur laiknya bahasa, maka narasi semeton NW yang banyak menyitir wasiat Maulana tentang “kembali ke NW dan NW satu aren” semakin menegaskan yang mereka sama sekali tidak pernah membayangkan perpisahan. Karena itu, sekali lagi, perpisahan secara hukum yang akhirnya terjadi itu ialah letupan gunung kekecewaan.
Kalau merujuk kepada sebab pertama tersebut, saya memahami riak lakonan yang dipertunjukkan oleh semeton saya di NW tak lebih dari sesenggak Sasak yang bernama “Kole Kentok”. Jadi apapun, atau sekeras apa pun narasi yang mereka bangun kepada saudara mereka sendiri, sebenarnya itu semakin menguatkan cinta murni. Mereka hanya menggoda menggunakan kembang dangah. Kembang dangah ialah simbol yang termanifestasi pada pilihan narasi yang, sebenarnya ia tak lebih dari sekadar permainan ringan sebagai medium silaturrahim. Bukan untuk benar-benar bermusuhan. Sama sekali tidak untuk betul-betul berpisah. Kalau terlalu lama mereka tidak saling goda, maka bawa sadar mereka mendorong tindakan untuk menemukan cara agar godaan kembang dangah dapat dilakukan. Hal ini semata-mata metode agar silaturrahim tetap terjaga.
Jadi, begitu saudara mereka akhirnya memilih NWDI sebagai jalan, sungguh tak terduga. Mereka amat kecewa seolah ingin mengatakan “Kenapa mereka akhirnya pergi, padahal ini hanya permainan kole kentok?” Ya, memang permainan kole kentok di kalangan masyarakat Sasak ia sesi pembuka untuk mengukur kedalaman seseorang. Adakah orang tersebut benar-benar berani atau hanya sekadar berani. Mengukur adakah kesabaran seseorang itu panjang atau pendek. Adakah orang tersebut benar-benar sahabat atau sekadar sahabat.
“Kole Kentok” ialah kearifan lokal masyarakat Sasak untuk mengonstruksi hubungan sosial yang lebih erat. Itulah sebabnya, dampak perkelahian yang serius, amat jarang terjadi meskipun sesiapa yang dikole kentoknya pasti naik pitam. Namun karena mereka menyadari hal tersebut sebagai medium interaksi sosial simbolik, pitam yang naik itu akhirnya diredam sebagai hanya sebuah permainan. Begitulah yang diharapkan oleh semeton saya di NW.
Nah, begitulah analogi riak gelombang semeton saya di NW dalam kurun dua puluhan tahun lebih ini yang berujung kepada adegan kejutan di luar jangkaan. Kaedah shilaturrahim “Kole Kentok” itu berujung agak fatal. Secara hukum mereka kehilangan saudara yang paling dicintai. Saudara yang tak pernah mereka benci meskpun kadang mulut mencaci, namun hati tak pernah mendengki.
Tentu saja, saya melihat kekecewaan tersebut sangat mendalam. Sebab jika selama ini, meskipun bergaduh, selalu ada ruang untuk terus memainkan “Kole Kentok”. Namun kali ini, ruang itu menjadi labirin, di mana kedua belah pihak berada dalam poros yang sama, namun memegang hukum yang berbeda.
Sebab kedua adalah takut. Membaca perkembangan watak secara psikologis, setelah fase kekecewaan akan melahirkan ketakutan. Misalnya, ketakutan yang berujung pada benar-benar kehilangan. Sudah pasti, semeton saya di NW, amat takut kehilangan saudaranya. Kalau selama ini kehilangan dalam kebatinan “Kole Kentok”, sekarang benar-benar kehilangan. Tentu saja akan melahirkan ketakutan yang mendalam.
Ketakutan, biasanya timbul karena perasaan bersalah, juga disebabkan oleh perasaan kecil. Yang tadinya, jika ada bahaya datang, masih ada saudara yang akan menolong meskipun sering bergaduh. Yang sebelumnya, derap perjuangan dipikul bersama saudara, sekarang masing-masing memikul gerak juang sendiri. Rasa bersalah dan rasa kecil ini, sungguh bukan penyakit biasa. Jadi, wajar jika semeton saya di NW merasa takut.
Ada sisi ketakutan yang lebih berbahaya, yakni ketakutan yang dikonstruksi atas persepsi runyam. Di mana kita berilusi yang saudara kita akan menjadi lebih hebat. Saudara kita malah yang benar meskipun selama ini kita selalu citrakan ia salah. Bukan kita yang benar meskipun panggung klaim kebenaran selalu menjadi corong kita. Karena saudara kita yang malah benar, akhirnya kita takut, pengikut setia kita terbuka mata hatinya lalu bepindah haluan. Pengikut yang tak ada habis-habisnya didoktrin tentang kebenaran kita, malah berduyun-duyun pindah sebagai pengikut saudara kita.
Ending dari ilusi ketakutan itu ialah pada akhirnya kita merasa sendiri. Kita yang tadinya sangat kuat karena ketaatan pengikut, pada akhirnya menjadi seorang diri. Berteriak dalam hati namun kesunyian menyikat habis seluruh kedalamaan jiwa. Dan yang paling meruntuhkan dari ketakutan ini ialah kita yang merasa memperjuangkan NW yang benar, malah terjerumus ke dalam jurang kesendirian yang kelam karena kehilangan jamaah, berpindah ke saudara kita yang sebelum ini menjadi bulanan-bulanan “Kole Kentok”.
Karena itu, sedari awal, ketakutan itu harus dilawan. Mesti dibangun tembok sekuat-kuatnya agar ketakutan itu tidak benar-benar terjadi. Bagaimana cara melawannya? Merapatkan barisan. Memproduksi wacana baru. Menghasilkan narasi baru. Sekali lagi dengan narasi berwajah dua. Narasi ambigu: NW yang benar. Sedangkan yang lain sebaliknya. NW yang warisan sejati, yang lain ciptaan baru.
Jika dua wajah narasi itu terus menjadi laras panjang pemertahanan diri atas ketakutan kita sendiri, lalu, kemana langkah semeton jari menuju, sebenarnya?
Penulis adalah Salman Faris, Malaysia, 20 April 2021