Nahdlatul Wathan: Catatan Santri NW Pencinta Maulana
Sejarah adalah sesuatu yang dibangun, distrukturkan, dari ingatan-ingatan yang tinggal, dan tentu saja tak pernah tunggal. Ingatan-ingatan itu tak pernah utuh dan menyuluruh, selalu ada fragmen di baliknya, yang tersembunyi sebagai “noumena”, bukan fenomena. Oleh karenanya, sejarah akan dianggap “benar” manakala anda memilih dari sudut mana anda bersedia memandang.
Seperti halnya perdebatan di Nahdaltul Wathan, tentang kuasa-kuasa yang “diperebutkan” itu, sebetulnya berangkat dari persoalan tafsir atas sejarah. Narasi itu terus dikontestasikan. Tampaknya kita belum lelah, melewati tahun-tahun kelabu yang menyedihkan seperti di masa lalu. Ada banyak airmata, luka, bahkan–mohon maaf—ada nyawa yang melayang. Kita sejatinya ingin menutup ini rapat-rapat, tetapi apalah daya, kita masih senang berkutat di lingkaran yang sama: persengketaan.
Lalu kita yang datang di kemudian hari selaku anak-anak muda NW, menemukan “narasi” itu dalam proses yang berubah oleh waktu dan banyak kepentingan. Sejarah itu telah berubah menjadi peristiwa, lalu mewujud fenoumena: yang tampak di panggung dan terus direproduksi dari waktu ke waktu. Sementara apa yang tak tampak, tetap menjadi “noumena”, yang tersembunyi di balik tabir, terlempar ke tempat sepi dan terasing menjadi rahasia yang sunyi.
Namun tampaknya kita tak perlu mengutuk sejarah. Biarkan ia menjadi pelajaran untuk masa depan dan harapan yang lebih cerah. Bukankah Maulana Syaikh pernah bebase: “Rauhun Raihanun jangan dipisah”? tentu kita semua sudah mafhum dan membaca risalah itu. Lalu, kenapa kita selalu punya alasan untuk berkilah, membedakan antara keduanya?
Banyak pesan-pesan Maulana Syaikh di dalam wasiat, yang sepertinya menerawang masa depan NW dan meneropong liku-liku perjalanan NW di masa mendantang. Oleh karenanya, dengan segala husnuzzon, Rauhun-Raihanun barangkali dilahirkan sebagai sebuah jawaban bagi tantangan-tantangan itu. TGB Zainul Majdi dan TGB Zainuddin Tsani juga demikian, dan segenap zurriyat serta jama’ah Nadlatul Wathan. Semua mestinya bersama-sama melewati tantangan ini.
Maulana Syaikh adalah asal mula, sebagai wujud yang pertama, beliau mewarisi wujud yang kedua: anak, cucu, dan Jama’ah. Kita semua tentu tak pernah sama dengan Maulana Syaikh, kita ibarat “fotokopi” yang harus melanjutkan cita-citanya yang mulia. Jika boleh mengatakan begini: Maulana syaikh adalah” Orisinalitas, sementara kita “generasi” NW adalah kreatifitas. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Sementara kreativitas melaju ke masa depan. Dan kini kita adalah bagian dari masa depan.
Kini sebuah generasi telah tumbuh, meski dengan berat hati dan penuh luka, mereka harus bangkit membangun sebuah visi baru tentang Nahdlatul Wathan: “sebuah kapal yang sedang berlayar di antara hantaman-hantaman gelombang”. Kita sejatinya masih berada di dalam kapal yang sama, namun sementara ini hanya berbagi kamar. Semoga kelak, suatu waktu di masa-masa mendatang, kita bertemu dan tiba di pelabuhan yang sama setelah melewati badai-badai berat ini. Seperti seruan Maulana yang selalu dilantangkan: kompak, utuh, bersatu!!
Dari sini kita mesti belajar, apa arti mencintai NW dan Maulana Syaikh dalam pengertian yang seutuhnya. Yakni menjaga kapal itu dalam hantaman gelombang demi gelombang agar tetap sampai ke tepian pelabuhan dengan selamat. Dalam arti kata, Rauhun Raihanun jangan dibedakan, TGB Majdi dan RTGB Zainuddin Tsani jangan dipisahkan, Anjani-pancor jangan diadu-dombakan. Maulana Syaikh telah susah payah membangun NW. Sebab itu, mari kita terus merawatnya. Ada banyak senarai panjang ulama-ulama di Nusa Tenggara Barat ini, namun hanya Maulana Syaikh yang mampu mendirikan Ormas Islam, mengajak Jama’ah percaya diri sebagai orang Sasak, berfastabiqul khairat dengan Ormas-ormas lainnya dalam mengisi perjuangan agama, Negara dan Bangsa.
Maluana Syaikh telah hadir sebagai aktor dan sahabat-sahabat serta pendukungnya menjadi komposisi awal, untuk berjibaku merintis dan menata NW. Hidupnya penuh tarik-menarik antara yang suka dan benci, fitnah dan caci. Namun semua dilewat dengan gagah. Tahun-tahun awal perjuangannya dilewati dengan tegar, meski terasa amat berat. Beliau rela jatuh bangun, demi kokoh dan utuhnya Nahdlatul Wathan sebaga organisasi Islam di tanah Sasak, satu-satunya Ormas Islam yang lahir di tanahnya sendiri dan terus berkembang ke penjuru-penjuru negeri.
Tapi kini, tampaknya Nahdlatul Wathan kian ribut dan mencemaskan. Mestinya berhimpun adalah cara kita menghadapi yang akan datang, bukan cara kita mengutuk masa yang telah silam. Namun sepertinya kita belum bosan dirundung malang. Kita seperti berlomba-lomba melipatgandakan cacian, memamerkan keabsahan, dan rasa paling benar. Entah sampai kapan?
Meskipun tantangan NW berat, tapi NW sudah punya cukup modal jika mau berbenah. Para tuan guru akan menjadi jangkar kultural di desa-desa dengan pondok pesantrennya, sekarang kita punya banyak sekali tuan guru. Sementara itu, para intelektual cerdik cendikia, doktor dan profeser juga sudah banyak, mereka bisa menjadi penggerak di isu-isu sosial kebangsan dan poltik. Kita hanya tinggal memaksimalkan potensi besar ini untuk menyusun langkah strategis ke depan. Belum lagi kita bicara diaspora orang NW ke luar daerah. NW akan menjadi kekuatan civil society yang berpengaruh jika kekuatan itu kita sinergikan. Setidaknya dalam lokus Nusa tenggara Barat, NW leading dalam isu dakwah, sosial, pendidikan, dan gerakan-gerakan kebangsaan dan politik. NW mestinya membangun peta/mapping dan rencana strategis ke depan. Tentu cita-cita besar ini harus dipanggul bersama-sama, bukan oleh sekelompok atau segelintir orang. Mari kita dukung RTGB berkelilng membuka cabang NW ke daerah daerah di Indonesia, mari juga kita dukung TGB Zainul Majdi berdakwah, tampil di berbagai pentas nasional membawa nama besar NW. Dua-duanya sedang melakukan hal-hal positif bagi NW.
Nahdaltul Wathan telah menjadi sebuah institusi besar. Kita telah akrab dengan logo dan lambang, dan bahkan merayakannya dalam lagu-lagu perjuangan. NW sebagaimana khitah awalnya, akan terus menjadi suluh bagi ummat, akan terus menjadi katalisator perubahan sosial di tengah masyarakat, dan berkontribusi bagi Nusa dan bangsa. Sekali lagi, semua itu membutuhkan pra-syarat, yakni kehendak untuk saling menerima dan berlapang dada di antara kita untuk melangkah bersama. Wansyur liwa’a Nahdaltil Wathan. Wallahu a’lam.