AL-QUR’AN DAN SCIENCE: RELASI ATAU INTERELASI?
Muhammad Syafirin, Rabu, 23 Desember 2020
Sebelum membahas tentang simbiosis Qur’an dan Sciense, ada beberapa substansi pokok yang perlu untuk dipahami; pertama, terkait esensi Qur’an dan Science sebagai objek kajian; kedua, eksistensi universalitas antara Qur’an dan Science sebagai sebuah perbandingan.
Berangkat dari sebuah artikel yang terbit di web Alif Lam beberapa hari yang lalu, salah seorang mahasiswa menulis tentang ‘Kesesuaian Al-Qur’an dan Science’, yang judulnya telah disunting menjadi ‘Antara Al-Qur’an dan Science’.
Saya telah membaca semua pemikiran yang ada dalam artikel tersebut. Di dalamnya, sang penulis hendak mengelaborasikan kesesuaian antara Qur’an dan Science, dengan memaparkan beberapa teori ilmiah tentang awal mula penciptaan alam semesta, ekspansi partikel-partikel alam, dan proses penghidupan manusia di bumi. Namun, pada saat yang sama, sang penulis juga mengungkapkan perasaan sentimennya terhadap beberapa teori, termasuk teori Evolusi Darwin, yang menurutnya tidak sesuai dengan Qur’an. Di samping itu, sang penulis mengklaim adanya pihak-pihak pengkaji budaya ketimuran (orientalis), yang pada awalnya berniat jahat terhadap Qur’an, kemudian pada akhirnya merelakan diri masuk Islam secara mayoritas.
Dalam beberapa aspek, saya sependapat dengan mindset yang diajukan penulis dalam pandangannya tentang Qur’an dan Science. Namun, ada beberapa diskursus wacana terkait entitas Qur’an dengan entitas Science itu sendiri, yang belum diperjelas dan dipertegas, termasuk juga premis (asumsi) terhadap pandangan Darwin dan realitas kelompok orientalis yang dinilai secara non-akuntabel oleh penulis sendiri. Berdasarkan hal demikian, saya merasa tertarik untuk menanggapi beberapa titik sensitif dalam artikel tersebut.
Sebelum berbicara term ‘kesesuaian’ Qur’an dan Science, mestinya kita harus memahami entitas yang esensial dari keduanya. Apakah dengan ‘kesesuaian’ yang dimaksud dapat memberikan analogi yang ideal ? Di sini, saya lebih memilih istilah ‘relasi’ (hubungan), sebagai upaya menemukan simbiosis Qur’an dan Science, bukan interelasi (kesesuaian). Mengapa demikian? Bukankah Qur’an itu kalam Tuhan, sedangkan Science adalah proyeksi akal manusia? Bukankah Qur’an itu kebenaran mutlak dan isyarat absolut, sedangkan kebenaran Science bersifat relatif dan dinamis? Maka, wajar bila dalam beberapa aspek, terkadang sebuah teori ilmiah akan terlihat dikotomis dengan kandungan Qur’an yang memang tauqif dan absolut.
Kalau memang argument dalam artikel tersebut lebih berorientasi pada konsep ‘kesesuaian’, maka seharusnya, tidak akan terdapat satupun dari teori ilmiah yang dikotomi dengan kandungan Qur’an. Tetapi, penulis pada pernyataan terakhirnya, mengemukakan adanya dikotomi tersebut, sehingga terlihat jelas dalam pernyataannya yang tidak konsisten dengan kerangka awal pemikirannya.
Jika ingin menyesuaikan antara Qur’an yang merupakan produk [“Akal Tuhan”] dengan Science sebagai hasil metodologis akal manusia, saya kira harus diberikan analogi yang tepat dan sesuai berdasarkan substansi masing-masing. Saya ingin berkata, Qur’an bukanlah ilmu pengetahuan, tetapi dia adalah hudan/‘petunjuk’; yang darinya terungkap isyarat-isyarat keilmuan dan keilmiahan. Science yang lahir dari gerakan eksperimen rasional manusia, seyogyanya dikorelasikan dengan aktifitas kerja akal manusia terhadap Qur’an, yang disebut dengan ‘penafsiran’. Karena penafsiran terhadap Qur’an, akan menjadi pola pandang dalam sebuah agama (Islam). Dari sini, pandangan agama akan dapat dikompromikan dengan Science, karena sama-sama diikhtiarkan melalui ‘akal’.
Kemudian tentang teori evolusi Darwin, yang dianggap tidak sesuai dengan Qur’an. Sebenarnya, jika kita melihat konteks sejarah kemunculannya serta pendapat ulama-ulama Islam terhadapnya, maka tidak akan ada asumsi yang tergabas dalam masalah ini.
Muhammad Qutub telah menjelaskan sejarah kemunculan teori evolusi ini dalam bukunya ‘al-Tathawur wa al-Tsabat fi Hayah al-Basyariyah’. Qutub mengatakan bahwa, kronologi lahirnya teori ini tidak terlepas dari faktor perseteruan maut antara lembaga Gereja Kristen dengan para Ilmuan waktu itu. Tepat pada tahun 1859, Darwin menerbitkan bukunya, The Origins of Species, dan The Origins of Man pada tahun 1871. Peristiwa ini dicatat sebagai salah satu peristiwa sejarah yang mengundang sorotan publik pada saat itu.
Pada mulanya, publik berada di pihak Gereja. Karena tentu saja, mereka tidak dapat menerima kenyataan atas gagasan Darwin yang menuduh mereka sebagai keturunan binatang. Darwin dinilai telah mencabut ‘kesucian’, keistimewaan dan kemuliaan umat manusia. Namun, dalam menilai perseteruan tajam yang terjadi antara Darwin dan Gereja, secara bertahap, publik berubah sikap dan haluan. Mereka menyadari bahwa ini merupakan langkah visioner dan melakukan oposisi terhadap kekejaman dan kekuasaan semena-mena yang menindas manusia dengan kedok otoritas agama.
Lalu bagaimana respon ulama-ulama Islam tentang teori Darwin? Apakah benar, teori ini patut dikatakan bertentangan dengan Qur’an? Sebenarnya, jauh sebelum masa Darwin, beberapa ulama Islam telah mendahului pernyataan Darwin yang membuktikan adanya kemiripan antara manusia dan kera. Seperti, Kamaluddin Muhammad ad-Damiri dalam kitabnya yang unik berjudul, Hayat al-Hayawan al-Kubra ketika menyinggung tentang kera, ia mengatakan, “Kera adalah binatang yang mirip dengan manusia dalam berbagai karakternya. Kera dapat tertawa, bergembira, bercerita, dan mengambil sesuatu dengan tangannya. Ia memiliki jemari yang sempurna disertai kuku, di samping dapat menangkap pelajaran dan pengajaran. Ia juga akrab dengan manusia, berjalan dengan kedua kaki dan kedua tangannya dan terkadang dengan kedua kakinya, dan ia juga mempunyai bulu mata. Ciri-ciri semacam ini tidak dimiliki oleh binatang lainnya.”
Selain ad-Damiri, ulama-ulama lain pun ikut berkomentar, seperti Syaikh Muhammad Ridha at-Taqi al-Ishfahani dalam bukunya, Falsafat Darwin mengatakan, “Tidak ada kontradiksi antara teori Darwin dengan agama. Agama hanya mengajarkan kita untuk meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana lagi memiliki pengetahuan yang Maha Luas dan Maha Teliti, telah menciptakan berbagai macam dan jenis makhluk‒seperti manusia, hewan maupun tumbuhan‒dengan sifat, tujuan dan rencana tertentu. Adapun mengenai proses penciptaan itu terjadi dan apakah makhluk-makhluk ini tercipta dari ketiadaan atau bahwa ia tidak pernah berubah semenjak awal penciptaannya, atau telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan, semuanya adalah masalah-masalah yang tidak dapat kita temukan dalilnya di dalam Al-Qur’an maupun penjelasan hadis Nabi Saw.”
Sebagian ulama juga menyatakan, bukanlah sebuah masalah atau musibah bagi umat Islam, apakah unta itu berasal dari keturunan kodok yang tergenang di air, atau gajah yang berasal dari burung camar yang melayang di udara. Yang pasti adalah bahwa kehebatan dan keserasian yang ditemukan dalam penciptaan alam semesta ini amat jelas, sehingga pada saat yang sama ia menjadi bukti wujud Pencipta Yang Maha Bijaksana.”
Perlu kita ketahui bahwa, agama tidak pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini dalam satu waktu tertentu sebagai makhluk yang mandiri dan terlepas dari lainnya. Bahkan, Quraish Shihab pernah menukil ungkapan Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa, Adam dan Hawa hanyalah cerita simbolis atau perumpamaan (tamtsil) saja. Atau Adam bukanlah manusia pertama, sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abdul Latif Bakr. Adam hanyalah salah satu dari manusia-manusia yang cukup banyak dan telah ada sebelumnya. Lebih dari itu, ada juga sebagian pemikir Muslim yang bermaksud mengukuhkan teori Darwin yang menguraikan tentang evolusi manusia, sambil mengetengahkan prinsip the struggle for life dan the survival of the filtes, dengan menggunakan ayat Al-Qur’an surah al-Hajj [22]: 40; ar-Ra’d [13]: 17; Nuh [71]: 14.
Kendatipun ulama-ulama telah berkomentar demikian, kita tidak harus untuk mengatakan bahwa teori Darwin itu benar, dan tidak juga mengklaimnya salah, apalagi menggunakan alternatif Al-Qur’an untuk mendukung maupun menyanggah argumentasi tersebut. Quraish Shihab mengatakan, jikalaupun teori ini benar maka ia tidak akan merugikan sama sekali. Karena di dalam Islam, kita tidak memiliki argumentasi yang menafikan teori ini, dan di sisi lain, kita tidak boleh memutuskan benar atau tidaknya suatu teori, yang masih dalam proses pengkajian. Berapa banyak teori yang pernah populer sebelumnya, lalu tidak lama kemudian tiba masa yang membuktikan ketidakabsahannya.
Yang terakhir sebagai sebuah tanggapan dari saya, terkait realitas sekte orientalis yang dalam artikel tersebut menyebutkan sikap misionaris mereka yang ingin menjatuhkan Al-Qur’an, namun pada akhirnya merelakan diri masuk Islam. Saya pikir, hal ini membutuhkan bukti yang valid dan jelas. Karena, dalam sebuah artikel yang pernah meneliti tentang kalangan orientalis yang menjadi muslim, jumlahnya tidak lebih dari tiga orang.
Pertama, Lord Headley (1855-1935) yang berasal dari Inggris, kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Rahmatullah Faruq; kedua, Rene Guenon (1886-1951) yang merupakan filosof besar asal Perancis, dan dikenal setelah keislamannya dengan nama Syekh Abdul Wahid Yahya; ketiga, Etienne Dinet (1861-1929) yang berkebangsaan sama dengan Guenon, Perancis. Dia juga berganti nama setelah masuk Islam menjadi Nashiruddin.
Sungguhpun demikian, saya pribadi tetap mengapresiasi semua argument maupun analisa yang dilakukan penulis pada artikel ‘Antara Al-Qur’an dan Science’. Boleh jadi, tanpa ide-ide yang lahir darinya, saya tak akan mampu mengelaborasi gagasan singkat ini. Dosen saya pernah berkata, sebuah karya tulis akan terasa nikmat dan dipandang unik apabila mampu melahirkan respon dan daya tarik pembaca untuk mengomentarinya. Oleh karena itu, selamat untukmu, semangat untukku, dan sukses untuk kita…!
Demikian semoga bermanfaat..!