Eksistensi Manusia dalam Filsafat Wujud Mulla Sadra
Mulla Sadra, sebagaimana kita kenal merupakan filosof Muslim kelahiran Iran yang pemikirannya dipengaruhi oleh figur-figur filosof Muslim sebelumnya, khusunya Suhawardi. Karakter pemikiran yang khas dalam gaya pemikiran filsafat Mulla Sadra adalah adanya pencarian makna batin dalam kandungan ayat al-Qur’an dan makna filosofis kegiatan ibadah, atau bisa dikatakan juga bahwa Mulla Sadra menggabungkan antara filsafat dan Agama dengan menggunakan sumber-sumber utama dalam Islam, yakni al-Qur’an dan hadis. Mulla Sadra atau Sadr al-Muta’allihin yang berarti “Paling Utama di Kalangan Teosof”, dilahirkan di Syiraz pada tahun 979-980/1571-72. Mulla Sadra larih dari keluarga yang terpandang, ayahnya Khawaja Ibrahim bin Yahya Qawmi, berasal dari keluarga Qawami yang dikenal dengan keluarga ilmuan dan pemuka Agama.
Al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arab’ah, menjadi Mazhab Filsafat yang telah berhasil menjadi sintesa di antara berbagai khazanah ilmiah Islam dengan tetap menjaga orisinalitas pemikirannya, yang menjadi satu alasan yang paling kuat bagi banyak filosof dan pemikir Islam untuk melakukan kajian terhadapnya, oleh sebab itulah pemikiran filsafat Mulla Sadra sering disebut sebagai wujudiyyah atau Filsafat Wujud, yang kemudian diterjemahkan menjadi Filsafat Eksistensialisme atau Eksistensialisme Islam.
Eksistensialisme sebagai aliran filsafat Barat, muncul pada abad ke dua puluh, eksistensialisme muncul di Barat sebagai pemberontak terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern Barat. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memiliki misi mengangkat derajat kemanusiaan dan menegaskan otonomi manusia hingga tak membutuhkan sang pengarah. Eksistensialisme Barat, yang jika dibedakan dengan eksistensialisme Islam akan terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari, ia menyebutkan dua perbedaan, yaitu: Pertama, eksistensialisme Islam tidak hanya berlaku bagi manusia saja melainkan juga untuk alam semesta. Kedua, eksistensialisme Islam berpandangan bahwa eksistensi itu sebagai subtantif, dilawankan dengan esensi yang aksidental atau nominal. Sementara iru, eksistensialisme Barat menggunakannya dalam pengertian keutamaan atau kelebih dahuluan.
Al-hikmat al-Muta’aliyat fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah merupakan karya yang terbesar dan yang terpenting dari Mulla Sadra, dan merupakan induk dari seluruh karya-Nya yang lain. Sesuai dengan judulnya, di dalam karya tersebut Mulla Sadra membicarakan manusia melalu konsep metafisika dan ontologi. Ontologi (eimi be dan logos) yang berarti kata atau pengetahuan, yakni pengetahuan mengenai hakekat benda atau makhluk secara abstrak, atau pengetahuan mengenai hakekat kenyataan.
Eksistensialisme dan eksistensi manusia dalam pandangan Mulla Sanda adalah eksistensi yang subtanstif dan esensi hanyalah aksiden, hal inilah yang disebut dengan ashalah al-Wujud (primacy of existence atau keunggulan eksistensi). Bagi Mulla Sadra, wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi yang berbeda, dengan meminjam istilah dari Suhrawardi yang disebut dengan mahiyah al-Nur, ialah adanya Tuhan, adanya manusia, dan adanya hewan, semuanya adalah satu wujud, satu realitas, akan tetapi tidak terdapat mahiyah (esensi), melainkan pada wujud (eksistensi).