Mengembangkan Budaya Menulis
4 mins read

Mengembangkan Budaya Menulis

Aktivitas tulis-menulis sepertinya bukanlah hal yang tabu lagi, sejak ribuan abad silam manusia mengalami suatu proses sejarah yang banyak ditulis di buku-buku sejarah, bahkan diajarkkan mulai dari bangku SD hingga mempunyai pengkhususan tersendiri di bangku perguruan tinggi. Pelajaran dasar yang diajarkan pada mata pelajaran sejarah adalah definisi sejarah, kemudian memetakan sejarah secara periodik. Periode sejarah manusia mengenal tulisan pun diperkenalkan dan disebutkan sebagai sejarah manusia “mengenal tulisan”. sebelumnya, disebut sebagai zaman pra aksara artinya ketika manusia belum sama sekali bersentuhan dengan bentuk-bentuk tulisan dan hanya berkomunikasi secara verbal (lisan) dan isyarat.

Selanjutnya, zaman berevolusi sedikit demi sedikit, di mana tulisan semakin berkembang, demikian juga wadah untuk menampung tulisan, mulai dari batu, kayu, daun, tulang-belulang sampai ditemukannya kertas di Tiongkok oleh Cai Lun tau Tsai Lun pada tahun ke-105 masehi, terbaru manusia terus melakukan transformasi hingga ditemukannya mesin ketik pertama kali oleh Christoper Latham Sholes  pada abad ke-19 tepatnya tahun 1867 masehi. Karena penemuannya itu, Sholes digelari sebagai Father of the TypeWriter.  Penemuan kertas dan mesin ketik  sebagai wadah penyaluran tulisan, membuat manusia dengan mudah melakukan kegiatan tulis-menulis sampai hari ini.

Lalu sebagai penulis pemula, bagaimana agar kita dapat terus membudayakan kegiatan tulis menulis sebagai alternatife komunikasi dan transfer ilmu?, tulisan ini akan memberikan tips and trick untuk membangkitkan semangat menulis serta dapat “istiqomah” dalam hal menulis.

Pertama, kita harus mempunyai tekad dan minat yang kuat. Untuk menjadi penulis, harus siap untuk mendapatkan kritik dan saran, sebab keberanian saja tidak cukup. Menulis tidak hanya berdasarkan bakat, menulis adalah aktivitas manusiawi yang dapat dimiliki oleh siapa saja, asal mempunyai niat untuk menulis. Seperti ungkapan Yusri Hamzani seorang dosen jurnalistik STAI Darul Kamal bahwa, menulis tidak membutuhkan banyak teori namun menulis adalah bagaimana agar rutin menulis, nampaknya bahasa “membudayakan” lebih tepat digunakan untuk mempromosikan menulis itu sangat welcome bagi siapa saja.  

Kedua, menulis apa saja dan di mana saja. Sekali lagi bahwa menulis tidak bisa dibatasi oleh waktu dan tempat, seperti diuraikan di atas bahwa pada jutaan tahun silam manusia menulis di mana pun: di batang pohon, di daun, di tulang dan di batu. Ini menunjukkan bahwa menulis boleh dilakukan kapan dan di mana saja, namun untuk mendefinisikan itu pada era digital bahwa menulis apa dan di mana saja dapat berarti berbeda. Era gadget turut menggeser aktivitas menulis menjadi lebih fleksibel, banyak platform yang siap menampung tulisan kita. Dan dengan gadget selalu dalam genggaman, menulis pun dapat dilakukan di mana saja: di kereta api, di pesawat, di kapal, di mobil ataupun di taman kota. Tidak ada ruang yang sempit untuk menulis.

Ketiga, menyiapkan buku diary atau notebook mini. Bagi sebagian orang menulis diary mungkin adalah hal yang “norak” ataupun “kuno”, apapun kritik yang dilontarkan kepada kita, faktanya menulis diary adalah salah satu caraa terbaik agar jari-jari kita lunak untuk menggoreskan tinta pena di buku juga mengetik di laptop. Dalam lingkaran pesantren, seorang santri diajarkan untuk tidak lepas dari “mihbarah”, adapun makna mihbarah adalah tinta atau dalam bahasa kita pena. Sehingga seorang  santri diharuskan untuk senantiasa membawa polpen ataupun pensil ketika mengaji, kemudian mencatat hal-hal penting yang disampaikan oleh ustdadznya.

Keempat, bagian keempat adalah mengikuti lomba menulis. Jika kita membuka sosmed yang banyak beredar sekarang adalah poster-poster lomba menulis, ada banyak lomba menulis yang dengan mudah kita jumpai:  cerpen, artikel,  puisi, surat, blog, novel dan  jurnal, tentunya dengan hadiah yang beragam. Berdasarkan pengalaman penulis, mengikuti lomba menulis juga dapat menambah rasa percaya diri, serta belajar bagaimana berkompetisi.

Demikianlah kiat-kiat untuk menambah nafsu menulis kita, dengan menulis kita bebas mengungkapkan pendapat, dengan menulis kita tidak perlu banyak bicara, dengan menulis orang tuli dapat mengerti, dengan menulis kita akan abadi. Selain empat tips di atas, masih banyak jalan untuk membantu dalam pembiasaan dalam menulis sesuai versi dan passion masing-masing, semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *