MENJIWAI ‘DARUL KAMAL’ DENGAN SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU [Kampusku Adalah Syurgaku]
***Teruntuk kawan-kawan mahasiswa STAI Darul Kamal yang cinta akan kampusnya…!
Tema yang penulis suguhkan kali ini, sebetulnya merupakan refleksi dialogis antara jiwa dan pikiran penulis, yang kemudian menjadi sebuah ‘khātir al-fu’ādi (lintasan alus hati) dalam memaknai ‘Dārul Kamāl’. Sungguh terbelalak raga ini saat Tuhan terasa hadir mengilhamkan pena untuk melukiskan pesan metafor ini. Seolah-olah Tuhan bertutur kata kepadaku, ”Dārul Kamāl…..! “Ma huwa Dārul Kamāl?” “Wamā adrāka ma Dārul Kamāl?!” (Tahukah engkau apakah Darul Kamal itu?!).
Apa itu Dārul Kamāl?? Secara literal, kita dapat berkata bahwa ‘Dārul Kamāl’ merupakan sebuah identitas komunal/kelembagaan tertentu. Dan dalam kenyataannya, apa yang disebut sebagai Dārul Kamāl ini dijadikan sebagai identitas perguruan tinggi yang terletak di bagian utara desa kembang kerang. Dalam sebuah kajian kebahasaan dikatakan, “al-Ismu yadullu ‘ala al-Musamma” (nama menunjukkan pada apa yang dinamai), maka dalam konteks ini penisbahan ‘Dārul Kamāl’ dapat diserap menjadi dua terminologi, pertama, ia sebagai ‘nama’ bagi sebuah kelembagaan perguruan tinggi yang berada di desa Kembang Kerang; kedua, ia bagaikan seruling metafor yang tersirat dalam pesan sakral Tuhan.
Pada kesempatan ini, penulis hanya ingin memfokuskan kajian terhadap makna metaforis yang terdapat dalam terminologi kedua di atas. Bagi penulis penyebutan ‘Dārul Kamāl’ bukanlah sekedar nama, melainkan lebih dari itu. Ia adalah alunan doa, sepucuk harapan, serta entitas sakral yang tersembunyi di balik tirai. Ketersembunyian inilah yang membuatnya sulit dideteksi dan terasa mentah dalam pandangan lahiriah.
Salah satu alternatif penting yang penulis gunakan dalam menguak misteri nama ‘Dārul Kamāl’ adalah analisa semantik Toshihiko Izutsu, yang sebetulnya, penulis juga pernah gunakan untuk menggali makna kata ‘shalat’ dalam tema yang berbeda. Dan berangkat dari rasa optimisme yang kuat, akhirnya penulis tertarik untuk mencoba mengelaborasi penisbahan ‘Dārul Kamāl’ menjadi sebuah paradigma dan penafsiran baru yang melahirkan makna filosofis ‘irfani dengan pendekatan semantik Izutsu.
Baiklah..! Sebelum beranjak lebih jauh, kita mesti mengenal dulu siapa Toshihiko Izutsu. Ia adalah pakar ke-susastra-an yang berasal dari Kamakura, Jepang. Keluarganya merupakan penganut ajaran Zen Buddhisme yang taat dan selalu menekankan aspek spiritualitas, sehingga tidak jarang Izutsu menemukan pengalaman-pengalaman yang bersifat mistik dalam kehidupannya. Perjalanan intelektualnya kini telah diakui dunia, dan beberapa karyanya telah banyak memberi sumbangsih besar kepada Islam, terutama gagasan teori semantiknya yang berupaya menggali makna istilah-istilah dan kata kunci yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Refleksi teoritis dalam semantik Toshihiko Izutsu berkisar pada tiga tahap, yaitu pertama, ialah dengan memilih istilah-istilah kunci (key word) dari Al-Qur’an sesuai dengan bahasan yang dimaksud; kedua, menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning); ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep tersebut dalam satu kesatuan. Ketiga tahap inilah yang akan penulis gunakan untuk menguak misteri penisbahan ‘‘Dārul Kamāl’ yang tersirat dalam Al-Qur’an.
Kalimat ‘Dārul Kamāl’, merupakan gabungan dari dua kata, yaitu دَارُ‘Dāru’ yang berarti tempat, rumah, perkampungan; dan الْكَمَال ‘al-Kamāl’ yang berarti kesempurnaan, kelengkapan, keutuhan, dan paripurna. Kata دَارُ ‘Dāru’ dalam al-Qur’an terdapat pada 48 tempat dengan beragam derivasi selain dari selain 7 kata seperti تَدُوْرُ “Tadûru” (QS. Al-Ahzab[33]: 19); تُدِيْرُ “Tudîru”(QS. Al-Baqarah [2]: 282); دَآئِرَة “Dāiratu” (Q.S Al-Maidah[5]: 52); (Q.S Al-Taubah [9]:98); (Q.S Al-Fath [48]: 6); دَوَآئِر “Dawāir” (Q.S Al-Taubah [9]: 98); دَيَار “Dayār” (Q.S Nuh [71]: 26). Sedangkan kata كَمَال ‘Kamāl’ dalam Al-Qur’an terdapat pada 5 tempat, antara lain: Q.S Al-Baqarah [2]: 185, 196 dan 233; Q.S Al-Maidah [5]: 3; QS. An-Nahl [16]: 25.
Kata دَارُ ‘Dāru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an berkisar pada dua makna utama, yaitu pertama, ‘negeri/kampung’ sebagaimana terdapat pada ayat: وَلَلدَّارُ الآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ “Dan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S Al-An’Am [6]: 32). Kedua bermakna ‘tempat/rumah’ sebagaimana pada ayat: لَهُمْ دَارُ السَّلاَمِ عِنْدَ رَبِّهِمْ “Bagi mereka (disediakan) tempat yang damai (surga) di sisi-Nya” (Q.S Al-An’am [6]: 127).
Adapun kata كَمَال’Kamāl’ dalam Al-Qur’an juga memiliki dua makna pokok. Pertama, bermakna ‘kesempurnaan’ seperti dalam ayat: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ “Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan agamamu untukmu” (Q.S Al-Maidah [5]: 3); kedua, bermakna ‘kecukupan’ sebagaimana terdapat dalam ayat: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُو اللهَ “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengangungkan Allah” (Q.S Al-Baqarah [2]: 185).
Berdasarkan analisa di atas, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan sekaligus menemukan filosofis baru dari penisbahan ‘Dārul Kamāl’ . Mengapa kata دَارُ ‘Dāru’ disebutkan mayoritas ketimbang kata الْكَمَال ‘Kamāl’ ?? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penulis ingin berkata, bahwasanya dalam ilmu kebahasaan, kata دَارُ ‘Daru’ adalah bentuk kata yang bersifat global (nakirah) sedangkan kata الْكَمَال ‘al-Kamal’ ialah kata bersifat khusus (makrifat), jadi terlihat jelas bahwa kalimat دَارُ اْلكَمَالِ ‘Dārul Kamāl’ merupakan penggabungan dua sifat yang berbeda yang kemudian membentuk satu komponen makna koheren dan utuh.
Pertama; makna filosofis dari globalitas kata دَارُ ‘Daru’ adalah bahwa setiap apapun yang dinamai sebuah tempat, negeri atau persinggahan di dunia ini, memiliki corak dan nuansa yang berbeda. Kita bisa melihat tempat yang kita pijaki saat ini tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dipijaki orang lain. Iklim yang berbeda, dan kondisi geografis pun sangat menentukan. Kita dapat menilai bahwa setiap tempat pasti memiliki perbedaan aroma dan warna. Bahkan, hati yang dipahami sebagai tempat tersimpannya perasaan dan cinta, tidak selamanya menampakkan wujud kasih sayang, kadangkala mengekspresikan kelembutan, tidak jarang pula melahirkan emosionalitas. Ini berarti, setiap tempat kodratnya selalu berbeda. Oleh karena itu, dengan beragamnya perbedaan tersebut, pilihlah tempat yang benar, tepat, sesuai dan nyaman bagi kehidupan anda.
Kedua; kata الْكَمَال ‘al-Kamal’ ialah kata bersifat khusus, ia ditandai dengan huruf alif lam yang melekat padanya. Maka setiap apa yang dinisbahkan dengan kata ‘al-Kamal’ akan dikenal sebagai sesuatu yang paripurna. Prestasi mahasiswa yang meraih nilai terbaik dalam akademik akan disebut ‘Cumlaude’. Bukankah dari segi pelafalan, akar katanya berawal dari huruf (ك) “Kaf”, (ل) “Lam”, dan (م) “Mim” yang jika digabung menjadi كَمَل. “Kamal”. Kemudian pada kata ‘al-kamal’, ia dilekatkan dengan dua huruf sebagai tanda privasinya, yaitu (ا) “Alif” dan (ل) “Lam”. Dan apa yang terjadi? Ternyata di kampus Darul Kamal, saat ini telah menciptakan wadah literasi yang bertujuan mengembangkan minat baca-tulis bagi mahasiswa, dengan nama “Jurnal Alif Lam”. Apakah ini merupakan suatu kebetulan? Penulis berkata, tidak ! tapi ini memang sebuah keajaiban dari Tuhan.
Kemudian filosofis ketiga; bahwa dalam Al-Qur’an, kata ‘al-Kamal’ terlihat minor dibanding kata ‘Daru’ dengan jumlah nominal 5 banding 48. Maknanya apa? Walaupun kata ‘Daru’ lebih banyak, akan tetapi ia meniscayakan pula kecacatan dan kehinaan, terbukti dari beberapa ayat yang digunakan Al-Qur’an untuk menampakkan kehancuran suatu tempat/negeri. Sedangkan makna ‘al-Kamal’ sama sekali tidak meniscayakan kecacatan, kekurangan maupun kehinaan. Hal ini menandakan bahwa kuwantitas belum tentu menjamin kuwalitas. Sesuatu yang banyak tidak mesti dinilai lebih unggul dari yang sedikit, demikian juga sesuatu yang sedikit belum tentu rendah dan lebih lemah dari sesuatu yang berjumlah banyak.
Kita berlanjut kepada tahap penggabungan. Jika kita padukan dua kata ini maka akan berbunyi (دَارُ الْكَمَالِ) ‘Dārul Kamāl’, yang dapat dimaknai ‘kawasan paripurna’, atau ‘negeri keabadian’. Pada kalimat ‘Dārul Kamāl’ ini, penulis melakukan penakwilan dengan melihat perpaduan antara dua unsur pada kalimat tersebut. Pertama, kata ‘Dāru’ menyimbolkan intelektualitas; ia merupakan wadah yang menyimpan berbagai keilmuan dan pengetahuan. Kedua, kata ‘al-Kamāl’ melambangkan spiritulitas; ia adalah jalan untuk menggapai kesempurnaan hidup dan ketenangan batin di dunia. Karena kedua hal inilah yang merupakan hakikat kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang. Dan berdasarkan pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ‘Dārul Kamāl’ adalah kampus yang memadukan dua aspek sekaligus yaitu aspek intelektual dan spiritual. Ini terbukti dari ungkapan fenomenal yang kerapkali diungkapkan para dosen, “STAI mengukir prestasi dengan Dzikir dan Pikir”.
Kedua, kampus ‘Dārul Kamāl’ menyelaraskan antara dunia dan akhirat. Jika kata ‘Daru’ yang berarti wadah, maka dunia adalah wadah/tempat untuk menanam jasa dan kebaikan serta pengabdian. Kemudian jika kata ‘al-Kamal’ yang dimaknai dengan totalitas keparipurnaan, maka sungguh akhirat adalah tempat yang sempurna dan abadi. Untuk mewujudkan keselarasan dunia akhirat itu, kampus Dārul Kamāl disamping menyediakan prasarana sebagai tempat pembelajaran akademik, ia juga menciptakan halaqah berbasis agama, yang dikenal dengan ‘Ma’had ‘Aly Darul Kamal’.
Ketiga, esensi kalimat ‘Dārul Kamāl’ adalah bagikan seruling Tuhan. Mengapa penulis berkata demikian, karena seruling melukiskan wadah kesempurnaan. Darinya keluar segala untaian nada, segala ungkapan kelembutan, cinta dan kasih sayang. Bahkan, kita bisa beranggapan bahwa alam semesta ini tercipta dari nafas Tuhan; nafas yang Dia tiupkan pada seruling-Nya yang kemudian menghasilkan irama indah dan syahdu.
‘Dārul Kamāl’ yang penulis gambar sebagai seruling Tuhan, dapat juga diresapi melalui makna kalimatnya, ‘rumah/negeri yang sempurna’. Sehingga dari pengertian ini, kita mampu melacak bayangan ‘Dārul Kamāl’ yang tersembunyi di balik istilah kunci dalam Al-Qur’an. Bagaimana caranya? Toshihiko Izutsu mengajarkan, bahwa jika ingin menemukan makna tersebut, maka carilah sinonimitasnya dalam Al-Qur’an. Sekurang-kurangnya, terdapat dua buah istilah yang penulis temukan dalam Al-Qur’an, antara lain:
Pertama, Dārus Salām, ‘tempat kedamaian (syurga)’, sebagaimana firman-Nya: وَ اللهُ يَدْعُوا إِلَى دَارِ السَّلَامِ “Dan Allah menyeru (manusia) kepada Darussalam (syurga)” (QS. Yunus [10]: 25). Bukankah syurga adalah tempat yang kekal, dan negeri yang penuh dengan keindahan dan kesempurnaan nikmat (Dārul Kamāl)?
Kedua, Dārul Qarār, ‘tempat keabadian’, sebagaimana firman-Nya: وَإِنَّ الآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَار “Sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal” (QS. Ghafir [40]: 39). Bukankah suatu negeri yang kekal dan abadi menunjukkan sifat kesempurnaan atas negeri tersebut (Dārul Kamāl)?
Demikianlah analisa singkat yang dapat penulis suguhkan pada tema kali ini. Tentunya tujuan penelitian ini adalah semata-mata ingin memotivasi diri ini untuk mencintai dan lebih menjiwai kampus tercinta ‘Dārul Kamāl’. Dan penulis harap bagi kita semua terutama para mahasiswa untuk sadar dan bersyukur. Sadar atas sikap manja dalam mengasah pikiran dan sikap malas dalam mengerjakan tugas. Adapun kita harus bersyukur, karena telah dipertemukan dengan sebuah wadah yang berusaha menunjang dua unsur pokok dalam hidup kita yaitu unsur intelektualitas (pikir) dan spiritualitas (dzikir), serta membimbing kita menuju pengabdian amal di dunia dan kesuksesan pahala di akhirat.
Semoga bermanfaat..!
Salam literasi..!
Muhammad Syafirin, IAT/V