ELUSI MAHASISWA DALAM PESAN METAFORIS GURU BESAR [Meraih Sarjana dan Menepis Syarrun Jâna]
Pada tema kali ini, penulis akan mencoba mengelaborasi dua hipotesa penting terkait elusi mahasiswa dalam menentukan arah tepi studinya di bangku perkuliahan. Karena berhasil atau tidaknya sebuah pengabdian akademik tergantung dari bagaimana seorang mahasiswa mampu menciptakan kreatifitas yang stimulatif pada dirinya. Kreatifitas mahasiswa memberikan pengaruh besar sebagai gerbang awal menuju stasiun akhir akademik, jika ia mampu dan berhasil merealisasikannya, maka pantaslah ia meraih gelar ‘sarjana’. Namun pengabdian mahasiswa bukanlah sampai disana, ia harus berjuang dan membuktikan identitas yang diraihnya menjadi sebuah entitas kebermanfaatan dalam menjalani kehidupan. Jika hal yang demikian ini dilepas, berarti ia meniscayakan gelar ‘syarrun jâna’ pada dirinya.
Istilah ‘sarjana’ dan ‘syarrun jâna’, sebetulnya penulis nukil dari bait syair yang dikarang oleh ulama karismatik, seorang Guru Besar sekaligus sufi ternama di Lombok, Tuan Guru Zainuddin Al-Anfanâniy, yang beliau tuangkan dalam wasiyat renungan masa-nya. Adapun syair itu berbunyi:
Kami asyik menanam dana
Karena mengharap dapat ‘sarjana’
Tapi akhirnya ‘Syarrun Jana’
Peres batu Nde’ Ara’ Ai’na(Wasiyat Renungan Masa, 69)
Kalau kita cermati syair di atas, kita bisa menemukan sebuah tipologi pemikiran dan pesan esoteris yang disampaikan penulisnya dalam mempromotifkan kinerja mahasiswa. Penulis menilai bahwa pemikiran yang disalurkan pada syair di atas adalah pemikiran yang bersifat preventif, karena di dalamnya terdapat upaya pencegahan yang ingin direalisasikan oleh penulisnya kepada para alumnus (mutakharrijin) khsusnya mahasiswa Nahdlatul Wathan pada saat itu.
Secara substansi, kita tidak bisa menyangkal bahwa setiap manusia pasti memiliki kecenderungan (ittijah), baik yang bersifat positif maupun negatif, karena memang Al-Qur’an-pun telah menyatakan demikian, (Faalhamahâ fujûrohâ wa taqwâhâ) “Allah mengilhami kedurhakaan dan ketakwaannya” (QS. Al-Syams [91]: 8). Untuk mengantisipasi arah yang negative, Tuan Guru Zainuddin hendak membangun konsep preventif, tujuannya untuk memfilter; menyadarkan; dan memahamkan para mahasiswa tentang bagaimana dan apa yang seharusnya ia perbuat setelah berhasil meraih gelar ‘sarjana’.
Sebelum beranjak lebih jauh, hal utama yang ingin penulis jelaskan adalah makna ‘sarjana’ dan ‘syarrun jâna’ dalam perspektif Islami. Kata ‘sarjana’ bukanlah istilah yang asing lagi dalam dunia akademik. Orang-orang sering memahami kata ‘sarjana’ sebagai gelar/titel yang diberikan kepada seseorang ketika ia telah berhasil menuntaskan studinya di bangku perkuliahan pada program Strata 1 atau S 1. Namun tahukah kita, bahwa sebenarnya makna ‘sarjana’ bukan hanya sampai disitu, bahkan penulis bisa berkata, kita bisa menganalisis istilah ini dengan dengan menggunakan pendekatan Al-Qur’an sebagai basis untuk menemukan kesejatian makna. Hal ini tentunya dapat melahirkan paradigma baru dalam memahami gelar ‘sarjana’.
Istilah ‘sarjana’, bila kita kaitkan dengan bahasa Arab, maka akan ditemukan ungkapan yang seiras dengan kalimat ‘sirojuna’. Secara harfiah, kalimat ini tersusun dari dua kata, yaitu ‘siroj’ yang berarti “pelita”, dan kata ‘na’ yang berarti “kami”, adapun jika digabung akan berarti “Pelita/penerang kami”. Dari kalimat ini kita bisa menemukan makna baru bahwa gelar sarjana bukan hanya sebagai simbol kreatifitas akademik saja, namun lebih dari itu ia dapat mewujud menjadi nafas segar yang bersifat transformatif-implementatif dalam menerangi kegelapan dan kebodohan di bumi persada ini. Kehadirannya dinanti-natikan oleh masyarakat dan yang akan membawa misi integral dalam membenahi setiap problema yang terjadi.
Kemudian marilah kita analisis lagi kata ‘sarjana’ dengan pendekatan Qur’ani. Dalam Al-Qur’an, terdapat kata ‘sirâja’, Allah menggunakan kata ini pada empat tempat dalam Al-Qur’an, yaitu pada QS. Al-Furqan [25]: 61 “Maha Melimpah anugerah Dia Yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan padanya siraj (matahari) yang bercahaya”; Q.S Al-Ahzab [33]: 46; “Dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai siraj (pelita) yang menerangi”; QS. Nuh [71]: 16 “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai sirâj (pelita)”; QS. An-Naba’ [78]: 13 “Dan Kami menjadikan siraj (pelita) yang terang-benderang (matahari)”. Dari keempat surah ini, kata ‘sirâja’ memiliki arti yang seragam yaitu ‘pelita yang terang benderang (matahari)’. Maka jika kita memahami arti ‘sarjana’ dengan paradigma Qur’ani, kita bisa menemukan inovasi baru dan makna yang ideal, sekurang-kurangnya pesan ayat suci di atas mengesankan lima fungsi dan image yang mesti dimiliki seorang sarjana:
Pertama, sebagai Iron Stock, artinya para sarjana merupakan penerus bangsa yang akan selalu berpijak dan membela tanah air dengan segenap tumpah darahnya. Karena suatu bangsa bukan hanya membutuhkan bibit intelek dalam hal pendidikan, namun juga bobot yang kuat, unggul serta jujur dalam tindakan.
Kedua, sebagai Agent Of Change, artinya para sarjana bukan hanya berkecipung dalam dunia wacana saja, tetapi mereka adalah eksekutor yang diharapkan dapat membawa perubahan dunia menjadi lebih baik.
Ketiga, sebagai Moral Force, artinya para sarjana bukanlah orang-orang yang hanya unggul dalam akademis saja, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai moral. Karena suatu bangsa tidak cukup dipelihara dengan kekuatan dan siasat tanpa keluhuran nilai moral.
Keempat, sebagai Guardian of Value, artinya para sarjana adalah orang-orang yang kontinyu dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan, seperti kejujuran, persatuan dan kesatuan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kelima, sebagai Social Control, artinya para sarjana harus memahami situasi social dalam hidup bermasyarakat, mereka harus mampu berinteraksi dengan baik dan menjadi penyalur inspirasi masyarakat.
Apabila kelima fungsi di atas tidak dijalani dengan baik, maka gelar ‘sarjana’ tersebut dapat berubah menjadi ‘Syarrun Jâna’. Apa itu Syarrun Jâna?? Syarrun berarti kejahatan, kehinaan dan kekerdilan. Sedangkan Jâna berarti yang tidak nyata, seperti jin, dan setan. Maka Syarrun Jâna adalah orang yang dipengaruhi tipu daya setan untuk melakukan kejahatan dan pengrusakan secara terselubung. Tentunya Syarrun Jâna sama sekali tidak memiliki faidah apapun, serta tidak memberikan kebermanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kalau orang telah dicap sebagai Syarrun Jâna, maka orientasi hidupnya selalu bermasalah. Ia akan selalu menjadi sorotan negatif, serta kehadirannya dianggap sebagai bumerang oleh masyarakat. Istilah Syarrun Jâna juga sekaligus menjadi image seorang sarjana yang buruk perangainya, karakter dan wataknya. Inilah makna esoterik dari ungkapan syair, “Kami asyik menanam dana, Karena mengharap dapat sarjana, Tapi akhirnya Syarrun Jâna, Peres Batu Nde’ Ara’ Ai’na”.
Semoga bermanfaat..!
Salam Jurnalistik…!
Muhammad Syafirin, IAT/V.
Saudara Syarifin, tulisan ini lebih layak diletakkan di kategori “kolom”, karena tulisan ini mengurai pandangan/gagasan/konsep seorang tokoh tentang suatu fenomena sosial-keagamaan. Silahkan disunting lalu letakkan (centang) ke bagian “kolom”.
Semangat dan salam literasi.
Sdr Syarifin, tulisan ini lebih cocok dietakkan dalam kategori ” Kolom” karena memuat gagasan/pandagan seorang tokoh. Silahkan diedit/sunting lalu centang “kolom” dan kemuian klik update.
Semangat dan terus menulis