Al-Qur’an, Transmisi dan Resepsi: Dari ‘Anthropos-Qur’anicus’ hingga ‘Emancipatio Quranica’
8 mins read

Al-Qur’an, Transmisi dan Resepsi: Dari ‘Anthropos-Qur’anicus’ hingga ‘Emancipatio Quranica’

Muhammad Syafirin, 11/07/2025

Al-Qur’an sejatinya bukan hanya merupakan firman Ilahi yang mewujud dalam teks dan verbal, melainkan juga sebagai kitab suci (scripture) yang hidup; layaknya manusia. Nabi Muhammad saw. disebut sebagai representasi al-Qur’an yang hidup. Karena akhlak beliau merupakan cerminan atas ajaran-ajaran al-Qur’an. Jika kita merujuk pada sejarah tentang bagaimana teks-teks al-Qur’an dipahami, diresepsi, dan ditransmisikan dalam kehidupan masyarakat Muslim, kita akan menemukan varian-varian tradisi yang beragam bahkan kompleks. Terkadang tradisi yang berlaku di suatu tempat bisa berbeda dengan tradisi yang berjalan di tempat lain.

Salah satu bukti tentang realitas penerimaan yang sangat unik terhadap al-Qur’an adalah apa yang digambarkan oleh Rudolph T. Ware dalam bukunya berjudul “The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa”. Istilah “The Walking Qur’an” yang bermakna “Qur’an Berjalan” ini merujuk pada satu pandangan bahwa al-Qur’an bukan hanya merupakan sebuah teks yang statis dan bisu, tetapi juga suatu fenomena yang hidup di tengah kehidupan masyarakat. Fenomena semacam menurut Ware merupakan perwujudan al-Qur’an yang physically—dengan kata lain “penubuhan Al-Qur’an”.

Paradigma semacam ini pada akhirnya berimplikasi pada satu pandangan bahwa, tubuh yang menyatu dengan al-Qur’an memiliki status kesucian yang harus dijunjung tinggi sebagaimana perlakuan terhadap (musḥaf) al-Qur’an itu sendiri. Dalam buku Ware ini, kita akan menemukan bahwa yang dimaksud “Qur’an Berjalan” (The Walking Qur’an) itu adalah para ulama, para pengajar dan penghafal al-Qur’an. Umat Islam, khususnya di wilayah Senegal Afrika Barat meyakini bahwa mereka yang disebut “manusia al-Qur’an” itu merupakan entitas wujud yang memiliki kesucian layaknya al-Qur’an. Sebagai konsekuensinya, mereka harus dihormati dan dilindungi sebagaimana seorang Muslim menghormati dan melindungi al-Qur’an.

Jika melihat background akademik Ware, sepertinya tidak heran jika karya ini lahir di tangannya. Dia adalah seorang guru besar dalam bidang Sejarah Afrika Barat di Calivornia University, di Santa Barbara. Ware juga adalah seorang pakar yang cukup ekstensif menakar berbagai isu-isu negatif tentang sejarah Islam yang diproduksi oleh sarjana Barat dan Orientalis melalui karya-karya “nakal” mereka. Upaya Ware ini mendapat respon yang posistif dari berbagai kalangan akademisi. Pikirannya yang cemerlang itu mampu mempengaruhi dan menarik minat para pembelajar sejarah untuk mengkaji kembali sejarah Islam yang telah banyak terdistorsi dalam berbagai karya kesarjanaan Barat.

Secara umum, buku “The Walking Qur’an” ini, sebetulnya, membahas tentang proses transmisi al-Qur’an di wilayah Afrika Barat, tepatnya di Senegal, serta mendeskripsikan tradisi-tradisi dan warisan Islam yang sampai saat ini dipertahankan di berbagai sekolah-sekolah al-Qur’an di tempat itu. Ware menilai, sekolah-sekolah tersebut merupakan salah satu sumbangan terbesar dalam sejarah Islam di Afrika Barat, karena mereka mampu mempertahankan tradisi pengajaran al-Qur’an yang sempat mau dimusnahkan (namun gagal) oleh kolonial Prancis di abad 18-19.

Selain itu, Ware dalam buku ini mencoba memperkenalkan kepada pembaca bagaimana metode pembelajaran al-Qur’an itu diterapkan di sekolah-sekolah al-Qur’an. Metode tersebut menurutnya sangat unik, berbeda dari yang lainnya, bahkan mungkin hanya dipraktikkan oleh Muslim Afrika Barat. Itu sebabnya Ware memberi subtitle dalam judul bukunya “embodied knowledge”, di mana metode-metode tersebut merupakan sebuah proses transformasi pengetahuan al-Qur’an ke dalam diri setiap murid. Seperti misalnya, bagaimana para murid diajarkan tentang etika, moralitas dan karakter religius dalam memperlakukan al-Qur’an.

Mereka juga didoktrin bahwa al-Qur’an harus ditempatkan di pelukan dada mereka saat membawanya. Mereka juga harus menunjukkan perilaku yang menggambarkan pengagungan dan penghormatan kepada al-Qur’an seperti sikap hormat kepada sesama manusia, bersikap ramah, berakhlak baik, rendah hati dan sebagainya. Secara sederhana, pengajaran dengan pola demikian bertujuan agar para pembelajar al-Qur’an itu menyadari satu konsekuensi bahwa keagungan dan kesucian al-Qur’an meniscayakan sikap dan pribadi yang luhur dari para pembelajar dan penghafalnya.

Satu hal yang menurut saya menarik juga untuk disoroti dari seorang Ware adalah sikapnya terhadap kontroversi metodologis pentransmisian al-Qur’an di atas. Dia sepakat dengan penggunaan “cara fisik” (seperti pukulan di bagian-bagian tertentu pada tubuh dan sejenisnya) berguna meningkatkan dan mengefisiensi pembelajaran al-Qur’an. Kita tahu bahwa, cara demikian sangat ditolak oleh berbagai kalangan terutama sejak munculnya gerakan para aktivis HAM di era modern. Pukulan fisik dianggap sebagai cara yang tidak efektif dalam proses pembelajaran, bahkan indikasi pukulan dapat menyebabkan kebodohan dan memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan psikologis anak.

Namun demikian, menurut Ware, hal itu bukanlah suatu problem yang mesti dipersoalkan, sebab dalam konteks Afrika Barat, fenomena semacam itu adalah bagian dari tradisi yang telah berjalan sekian abad lamanya. Dalam hal ini, Ware sepertinya melihat suatu fenomena tidak bisa ditetapkan baik atau buruknya tanpa merujuk pada konteks tradisi budaya masyarakat di mana ia diterapkan. Terlebih narasi-narasi tentang kekerasan fisik tersebut, menurutnya, dikembangkan oleh para reformis kolonial untuk menjelekkan citra Islam, dan secara alamiah bertujuan menghapus tradisi tersebut dari proses transmisi al-Qur’an di Afrika Barat.

Poin lain yang menarik dari buku Ware ini adalah ketika dia menyuguhkan beberapa anekdot-anekdot (di bagian chapter 4) berupa resepsi mystical Qur’anic dalam sejarah reformasi Afrika Barat. Tentang poin ini, sebelumnya saya pernah mengulas dalam satu artikel singkat yang diterbitkan di website ini (Aliflam) berjudul “Konflik Ulama Versus Penguasa dalam Sejarah Revolusi Afrika Barat (Abad XVIII-XIX): Dari Dehumanisasi “Qur’an Berjalan” Hingga Resepsi “Qur’an Bertangan”. Dalam artikel ini, saya mengelaborasi sejarah tentang praktik perbudakan terhadap para penghafal al-Qur’an yang kemudian melahirkan pergerakan revolusi yang dipimpin oleh al-Mammī ‘Abd al-Qādir pasca wafatnya Ceerno Sulaymān Bāl melawan Banī Ḥasan.

Praktik dehumanisasi terhadap para penghafal al-Qur’an itu melahirkan protes keras dari masyarakat Muslim Senegal di Afrika Barat. Mereka menganggap tindakan tersebut sama saja dengan merobek-robek kesucian kitab suci mereka. Hal itu atas dasar keyakinan masyarakat bahwa para ulama dan penghafal al-Qur’an adalah representasi dari al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana diterangkan sebelumnya. Ketika al-Mammī (al-Imām) ‘Abd al-Qādir menyerukan jihad untuk melawan penguasa zalim kala itu, masyarakat tanpa berpikir panjang dan menyambut baik seruan tersebut. Dan, tanpa memerlukan waktu yang lama, tampuk kekuasaan pun berhasil direbut oleh kekuatan al-Mammī ‘Abd al-Qādir dan masyarakat.

Banyak yang menganggap kemenangan sang al-Mammī bersama pasukannya disebabkan oleh ketangkasan mereka bertarung di medan perang. Tetapi sebetulnya, di balik kemenangan itu, ada satu fenomena mistik yang bergerak. Ware menceritakan, ketika al-Mammī dan pasukannya hendak melawan musuh dari kerajaan Deenanke, al-Mammī membuat semacam jimat untuk mengundang “kekuatan Ilahi” agar musuh terhalau.

Tidak pasti ayat al-Qur’an mana yang digunakannya, karena Ware tidak menyebutkan secara spesifik di bukunya, tetapi di bagian bawah ayat itu dituliskan sebuah kalimat “Enyahlah dari negeri kami atau engkau masuk ke dalam agama kami” pada sebuah kain yang dipotong dalam bentuk segi lima, dan di bagian bawah kalimat ini ditulis nama-nama para punggawa Deenanke dan tokoh-tokoh pemimpin perang dari kalangan musuh.

Fenomena di atas memang tidak asing dalam sebagian tradisi masyarakat Islam. Penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai sarana keperluan tertentu telah ada sejak masa Nabi. Di antara contohnya ketika salah satu sahabat menggunakan ayat al-Qur’an untuk mengobati suatu penyakit, dan terbukti penyakitnya sembuh. Riwayat-riwayat serupa juga banyak ditemukan di dalam berbagai literatur keislaman, seperti kitab faḍāil al-Qur’ān dan kitab-kitab mujārobāt.

Harus saya akui bahwa karya Ware ini memberikan sebuah perspektif yang kaya tentang sejarah Islam khususnya di Afrika Barat, dengan narasi yang sangat elegan dan simpatik. Mungkin bagi sebagian orang, sikap Ware ini tidak objektif dalam menilai beberapa bagian dari tradisi di atas. Seperti persetujuannya terhadap pukulan fisik terhadap seorang murid, hingga praktik esoterik yang disebutkan di atas.

Ware dalam hal ini, tidak mengimbangi kajiannya dengan mempertimbangkan aspek tersebut berdasarkan prinsip teologi dalam Islam sendiri. Tapi mungkin, boleh jadi Ware menunjukkan sikap demikian karena memang tidak ingin masuk pada ranah tersebut. Karena sebagaimana pendekatan yang digunakannya, yakni pendekatan etnografis, dia sepertinya lebih tepat untuk disebut sebagai seorang dokumentator sejarah.

Salah satu kehebatan Ware dalam tawaran bukunya adalah dia sangat piawai dalam memperkenalkan tradisi-tradisi tersebut. Ia mendedah bagaimana tradisi para guru-guru al-Qur’an di Senegal mengajarkan para murid mereka agar menjadi manusia seutuhnya, seakan-akan menjadikan mereka sebagai replika al-Qur’an yang hidup sebagaimana yang terefleksi dalam sosok Nabi Muhammas saw., sang penerima wahyu al-Qur’an.

Sumber: Ware, Rudolph T. The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa (University of North Carolina Press, 2014): 1-352.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *