Solving Legal as-Sab’ al-Matsâni dalam Pandangan Aṣ-ṣiddiqy: Kesatuan Verbal dalam Korpus Terpisah
Muhammad Syafirin, Selasa 25 januari 2022
Sudah lumrah di kalangan umat Islam ketika menyebut istilah ‘as-Sab’ al-matsâni’, maka yang dimaksud ialah surah al-Fatihah. Istilah demikian sengaja penulis gunakan sebagai judul tema di atas, karena memiliki keterkaitan dengan wacana yang akan penulis diskusikan pada kesempatan ini. Penamaan as-Sab al-matsâni terhadap surah al-fatihah adalah berdasarkan dari sekian banyak hadis, salah satunya yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Rasulullah saw. bersabda, Demi Tuhan Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan di dalam kitab Taurat, Injil maupun Zabur dan al-Quran suatu surah seperti as-Sab al-matsâni.
Secara harafiah kata as-sab’ berarti tujuh; ini mengisyaratkan bahwa surah tersebut terdiri dari tujuh ayat, sedangkan matsâni (bentuk jamak dari mutsannâ atau matsnâ) yang berarti dua-dua; menunjukkan bahwa surah ini dibaca secara berulangkali dalam rangkaian shalat maupun di luar rangkaian shalat. Kendati sementara ulama ada yang memaknai kata dua-dua tersebut secara berbeda yakni diturunkan dua kali; sekali di Makkah atau Bekkah berdasarkan dari riwayat Ibn Abbas dan Qatadah, dan sekali di Madinah dari riwayat Abu Hurairah, ‘Atha ibn Yasâr dan al-Zuhry—tetapi, sebagaimana dikutip aṣ-ṣiddiqy dalam tafsir an-Nur, bahwa jumhur mufasir seperti al-Baghawi, Ibn Katsir, al-Baidlawi dan lain-lainnya menguatkan keterangan Ibn ‘Abbas tentang pemanzilan surah al-Fatihah di Makkah.
Tulisan ini hendak mendiskusikan pendapat tentang ketujuh ayat surah al-Fatihah yang dibaca di setiap melakukan shalat. Penulis menjadikan pemikiran Prof. Tengku Hasbi aṣ-ṣiddiqy dalam tafsir An-Nurnya sebagai refresentasi kajian ini, karena menurut penulis, pandangan beliau dalam hal ini terkesan cukup unik, di samping menarik untuk diangkat sebagai sebuah wacana.
Penulis tidak akan mengungkap biografi Prof. aṣ-ṣiddiqy di sini, karena pembahasannya akan cukup panjang, lagipula sudah banyak yang menulis tentang itu. Namun penulis akan mengungkap secara spesifik pandangan beliau terkait jumlah ayat dalam surah al-Fatihah dan perbedaan pendapat serta ijtihad beliau mengenainya. Dalam hal ini penulis menggunakan tafsir An-Nur edisi ke-2 yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1965. Cetakan ini terdiri dari sepuluh volume dengan menggunakan body ejaan lamakebetulan penulis memiliki koleksi tafsirnya, sehingga pandangan-pandangan Prof. aṣ-ṣiddiqy disini penulis dihidangkan dengan merujuk lansung kepada teks aslinya.
Kedudukan ‘Basmalah’ di Awal Surah al-Fatihah dan Tiap-tiap Surah dalam al-Qur’an
Mengenai persoalan ini, Prof. aṣ-ṣiddiqy dalam An-Nurnya menyajikan beberapa riwayat, di antaranya: pertama, riwayat Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Ibn Umar, yang menyatakan bahwa, Basmalah merupakan suatu ayat dari tiap-tiap surah di dalam al-Quran. Pendapat ini mencoba melegalkan status Basmalah sebagai bagian ayat dari 113 surah di dalam al-Quran, kecuali at-Taubah. Namun demikian, lafaz Basmalah dalam al-Quran tetap berjumlah 114 sebagaimana bilangan surah, hanya saja satu lafaz lainnya terdapat dalam QS. an-Naml [27]: 30.
Pendapat di atas diperkuat lagi oleh riwayat dari para tabiin seperti Ibn Zubair, Athâ, al-Zuhry, Ibn Mubârak, dan oleh sebagian fuqaha dan pakar Qiraat, seperti Ibnu Katsir, Ashim, al-Kisâiy, asy-Syâfii dan Ahmad ibn Hanbal. Dalam hal hubungannya dengan al-Fatihah, para pakar di atas menyepakati bahwa Basmalah merupakan bagian dari al-Fatihah, hal ini didasari oleh hadis yang diriwayatkan Muslim dalam Shaḥiḥnya, bahwa Nabi saw. bersabda, “Telah datang kepadaku suatu surat. Kemudian beliau membacanya; ‘Bismillâhirraḥmânirraḥîm. Alḥamdulillâhirabbil ‘âlamîn…..(hingga akhir).” Selain itu, Daruquthny meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. memerintahkan membaca Basmalah jika hendak membaca Alḥamdulillâhirabbil ‘âlamîn…dst. karena Basmalah adalah merupakan salah satu ayatnya.
Pandangan Prof. aṣ-ṣiddiqy Tentang Basmalah dan al-Fatihah dalam Konteks Shalat
Berdasarkan dari riwayat sebelumnya, Prof. aṣ-ṣiddiqy sepakat dengan pendapat yang menetapkan Basmalah sebagai bagian dari al-Qur’an. Hal ini beliau nyatakan dalam tafsir An-Nur vol. I h. 28-29, ‘Seluruh ummat Islam sepakat menetapkan, bahwa jang tertulis dalam mushhaf, kalamullah. Basmalah itu terdapat dalam Mushhaf. Kalau demikian wadjiblah kita menetapkan, bahwa basmalah itu sebahagian al-Qur’an’.
Dari pernyataan ini, dapat dipahami bahwa Basmalah adalah bagian dari al-Qur’an, tetapi pada saat yang sama, ia bukanlah bagian dari al-Fatihah. Kenyataan demikian—yang juga menjadi sandaran aṣ-ṣiddiqy untuk memperkuat pandangannya—selaras dengan pendapat Imam Malik, al-Auza’iy dan Abu ‘Amr Ya’qub, yang menganggap Basmalah merupakan hidangan ayat yang berdiri sendiri atau bukanlah bagian ayat dari suatu surah tertentu di dalam al-Qur’an. Adapun keberadaannya dalam mushaf adalah sebagai penjelas pangkal dan pemisah antara satu surah dengan surah yang lain.
Dalam konteks shalat, Prof. aṣ-ṣiddiqy memegang pendapat bahwa ayat pertama surah al-Fatihah ialah Alḥamdulillâh, bukan Basmalah, tetapi bukan berarti tidak mesti membacanya. Justru membaca Basmalah hukumnya wajib, walau secara halus (sirr), seperti pernyataannya di halaman ke-29 tafsir An-Nur, “Menurut penjelidikan kami, Basmalah ini, suatu ajat dari al-Qur’an, wadjib dibatja dikala membatja al-Fatihah, walaupun dia bukan suatu ajat dari al-Fatihah. Dibatjanja dengan sirr (suara halus)”. Nah, menurut penulis, keunikan Prof. aṣ-ṣiddiqy terletak disini. Di saat pihak pertama, yakni kelompok yang sependapat dengan Ali, dan Ibnu ‘Abbas, menyepakati kedudukan Basmalah sebagai bagian dari al-Qur’an, kemudian dari pihak kedua, yaitu Ibnu Mas’ud menolak dengan berkata, bukan bagian dari al-Qur’an, kemudian menyusul pihak ketiga, yaitu Imam Malik dan yang sepaham dengannya menyatakan berdiri sendiri, maka Prof. aṣ-ṣiddiqy menengahi ketiga pendapat itu. Dalam arti sederhana, Basmalah adalah bagian dari al-Qur’an, tetapi dia bukan bagian dari al-Fatihah, dan meskipun Basmalah bukan bagian dari al-Fatihah, tetapi membacanya merupakan keniscayaan sebelum memulaikan al-Fatihah. Demikianlah keduanya menyatu secara verbal walau dalam korpus yang terpisah. Demikian Wallahua’lam…!