
KONFLIK ISLAMISME DALAM BINGKAI KEBUDAYAAN LOKAL DI TANAH SASAK
Muhammad Syafirin, Sabtu, 22/01/2022
Tulisan ini lahir dari sebuah keresahan penulis terhadap beberapa problem aktual yang sedang menghebohkan masyarakat pulau Lombok belakangan ini. Salah satu isu yang cukup memantik responsi masyarakat Sasak adalah beredarnya sebuah video ceramah oleh salah seorang tokoh gerakan Wahabisme di pulau Lombok yang terkesan ‘menghina’ beberapa situs makam keramat di gumi Sasak. Menurut informasi, ceramah tersebut diunggah pada tahun 2020, namun kemudian menjadi booming menjelang pertengahan pekan Desember di tahun 2021.
Kita tahu bahwa beberapa makam bersejarah seperti makam Batu Layar, Bintaro, Sekarbela, Ali Batu, Selaparang dan lainnya merupakan situs-situs sejarah yang sangat dihormati dan dinilai oleh masyarakat Sasak sendiri sebagai bagian dari khazanah kebudayaan terbesar di pulau Lombok. Mereka semua adalah para muballig terkemuka yang berjasa besar dalam pengekspansian ajaran Islam di pulau Lombok.
Di sini saya tidak akan ikut campur dalam persoalan benar atau tidaknya dugaan penghinaan tersebut―karena memang pelaku yang bersangkutan pun sudah menyampaikan klarifikasi akan hal itu, ntah pengakuannya itu jujur atau karena keterpakasaan Wallahu a’lam, tetapi menurut saya, hal ini bisa-bisa saja dianggap sebagai sebuah penghinaan dengan kelaziman yang sering terjadi di berbagai kesempatan, di mana tidak sedikit tokoh Wahabi yang mengecam keras tindakan orang-orang yang mendatangi kuburan-kuburan keramat untuk tabarrukan dan berdoa, bahkan mereka menganggap itu adalah perbuatan syirik, sesat dan tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Maka dalam konteks ‘makam keramat’, orang-orang Wahabi selalu beranggapan demikian, substansi tujuannya sama yaitu bid’ah dlalalah, sesat menyesatkan.
Di era pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, setiap orang diberikan ruang kebebasan untuk berpendapat dan menyampaikan gagasan serta aspirasinya, akan tetapi, hal ini bukan berarti segala macam ekspresi pemikiran dapat ditampilkan sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan objek sasaran. Kita mesti menyadari bahwa setiap seorang individu dan masyarakat memiliki memiliki nilai-nilai tersendiri, adat istiadat dan budaya yang sifatnya mengikat dan melekat pada diri mereka. Di sini agama mengajarkan kita untuk menghormati mereka, meskipun pandangan kita berbeda atas hal itu. Sebagaimana Prof. Quraish Shihab sering katakan, bahwa menghormati sesuatu bukan berarti menyetujuinya, sehingga kita boleh berbeda dalam hal-hal apapun dengan orang lain, tetapi dengan tanpa menghilangkan rasa hormat kita terhadap mereka, demikian Tuhan menciptakan setiap suku bangsa kreatifiasnya masing-masing.
Dalam kasus penghinaan terhadap makam-makam keramat di atas, saya menganggapnya sebagai dilema islamisme yang terjebak dalam bingkai kebudayaan. Orang-orang, terutama pelaku penghinaan di atas barangkali terperangkap dalam memahami dua konsep ini. Tidak sedikit di kalangan kita hingga saat ini belum bisa membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab tempat Islam dilahirkan itu. Sementara pakar menyatakan, kebanyakan orang menganggap bahwa Islam itu mesti Arab, dan setiap yang berbau Arab sudah tentu Islam. Padahal anggapan yang demikian sangat bertolak belakang dengan background Islam yang rahmatan lil ‘alamin (universalitas nilai). Artinya, walaupun Islam turun di Arab, dan Muhammad saw. adalah Nabi yang dilahirkan di Arab, tetapi Islam bukanlah hanya milik Arab dan Arab bukanlah semata Islam itu sendiri.
Islam adalah nilai, konsep, dan tuntunan Ilahi yang sifatnya universal. Ia menyerap ke setiap dimensi dan berakulturasi dengan kebudayaan masyarakat yang tengah berkembang. Para pakar kerap menyuarakan konsep ‘Shâlih li kulli zamân wa makân’ artinya selaras dan sesuai di setiap konteks zaman dan tempat, maka ini berarti bahwa Islam sebagai sebuah nilai dapat bergandengan tangan dengan budaya-budaya yang ada selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Kalaupun misalnya itu bertentangan, maka Islam pun memberikan toleransi akan hal itu. Nah, sekarang muncul persoalan yang berbeda, di mana ada sebagian orang yang memandang ajaran keislaman orang lain salah hanya karena tidak sesuai dengan budaya Arab. Termasuk dalam hal ini adalah kasus penghinaan makam keramat di atas. Padahal mereka tahu, yang mendatangi kuburan keramat tersebut bukan hanya dari kalangan masyarakat biasa, melainkan juga dari kalangan tokoh-tokoh agama atau para Kiyai dan Tuan Guru. Tentunya sikap yang dicontohkan oleh para tokoh- tokoh ini menandakan kebolehan dari tradisi tersebut. Jika kemudian tradisi semacam ini dinilai dan dipandang berdasarkan pada sudut pandang budaya lain, katakanlah Saudi Arabia yang wahabisme itu, maka jelas akan bertentangan dan dianggap sesat seperti klaim penghinaan ‘Tain Acong’ di atas. Di sinilah pentingnya kita memahami substansi pemahaman dan ajaran. Islam di manapun itu tetap satu, prinsip dasarnya sama, baik itu Arab, Afrika, Indonesia dan sebagainya. Dan mestinya, Islam diharapkan dapat berjalan sesuai dengan budaya masyarakat masing-masing, tanpa memaksakan kehendak untuk menerapkan budaya luar sebagai transformasi ajaran agama yang sudah berjalan, toh juga semuanya Tuhan yang buat!.. sekian…!