DIMENSI TEOLOGIS KITAB AL-JURUMIYAH [Isyarat Qur’anic dalam Bab “Kalam”]
7 mins read

DIMENSI TEOLOGIS KITAB AL-JURUMIYAH [Isyarat Qur’anic dalam Bab “Kalam”]

Muhammad Syafirin, Sabtu, 19 Desember 2020

Kitab al-Jurumiyah pada dasarnya merupakan sebuah matan (redaksi) yang berisi tentang pokok-pokok dasar ilmu gramatika Arab (Nahwu). Kitab ini cukup ringan, dikemas sedemikian ringkas oleh pengarangnya, supaya mudah dihafal dan dipahami oleh para pemula. Di kalangan pesantren, kitab al-Jurumiyah bukan sesuatu asing lagi. Semua para santri-santriwati, biasanya, diwajibkan untuk menghafal kitab ini sebelum mulai pembelajaran ilmu Nahwu. Inilah kitab fenomenal yang terus digunakan oleh pesantren-pesantren di Nusantara hingga saat ini.

Sebelum beranjak lebih dalam, kita mesti mengenal siapa pengarang kitab al-Jurumiyah. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud ash-Shanhaji, atau lebih dikenal dengan al-Imam ash-Shanhaji. Beliau lahir di Fez, Maroko pada tahun 672 H dan wafat pada 723 H.  Syaikh Zaini Dahlan dalam kitab Mukhtashar Jiddan, meriwayatkan, bahwa al-Imam ash-Shanhaji menulis kitab matan al-jurumiyah ini di hadapan Ka’bah, kemudian setelah selesai ditulis, beliau melemparkannya ke lautan untuk menguji keikhlasannya dalam menulis kitab tersebut. Al-Imam ash-Shanhaji sempat menyatakan, apabila kitab tersebut ditulis atas dasar keikhlasan dan mengharap ridha Allah, tentunya ia tidak akan tenggelam. Dan kenyataan yang terjadi adalah kitab tersebut tidak ditenggelamkan lautan. Hingga saat ini, posisi kitab al-Jurumiyah sebagai pegangan dasar para santri belum dapat tergeserkan. Dengan berkat keikhlasan pengarangnya, kitab al-Jurumiyah sangat terkenal di seluruh dunia Islam, sehingga sangatlah wajar jika kitab ini disematkan sebagai ‘kitab gramatika Arab sepanjang masa’.

Tidak dapat disangkal, bahwa kitab al-Jurumiyah, memang memfokuskan diri pada kajian gramatika (tata bahasa). Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dapat melahirkan perspektif berbeda di luar bahasannya, sebagaimana kajian yang penulis lakukan pada tema ini.

Secara eksplisit, kitab al-Jurumiyah yang terdiri dari 27 bab itu, membahas hal-hal yang bersifat gramatik. Tetapi, secara implisit, tidak hanya demikian. Penulis melihat ada beberapa sisi teologis dan filosofis di dalamnya, terutama yang terdapat pada muqaddimah pertama “Bab Kalam”. Mari kita lihat teks di bawah ini!

بَابُ الْكَلاَمِ) الْكَلاَمُ هُوَ اللَّفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيْدُ بِالْوَضْعِ)

“Kalam ialah lafaz yang tersusun yang dapat memberikan pengertian serta menggunakan bahasa Arab”

Pada teks pengertian ‘Kalam’ di atas, kita menemukan ada empat kategori yang menyebabkan sesuatu itu dapat dibenarkan sebagai sebuah ‘Kalam’, di antaranya:

Pertama, (اللَّفْظُ) ‘al-Lafzhu’, yang berarti ‘lafaz/ucapan’.

Kedua, (الْمُرَكَّبُ) ‘al-Murakkab’, yang berarti ‘tersusun’.

Ketiga, (الْمُفِيْدُ) ‘al-Mufid’, yang berarti ‘faidah/manfaat’.

Keempat, (الوَضْعِ) ‘al-Wadha’, yang berarti ‘berbahasa Arab’.

Menurut kesepakatan ulama Nahwu, sebuah ‘Kalam’ akan dinilai otentik dan valid, apabila memenuhi keempat syarat di atas. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka belum ‘sah’ dinyatakan sebagai ‘Kalam’.

Kajian Filosofis

Pembahasan awal yang mesti diketahui adalah mengenai penempatan posisi ‘Kalam’ beserta ciri-cirinya. Kita bisa bertanya, mengapa bab ‘Kalam’ terletak pada posisi pertama dalam kitab al-Jurumiyah? Dan mengapa terdapat huruf ‘alif-lam’ yang melekat pada kata (الكلام) ‘al-Kalam’?

1. Secara teologis, kata (الكلام) ‘al-Kalam’ bermakna ‘kalam/ucapan Tuhan’ (Al-Qur’an).

Adanya huruf ‘alif lam’ yang melekat pada kata ‘Kalam’ menunjukkan jenis penyebutannya ‘makrifat’ (spesifik) yang tertuju kepada ‘Al-Qur’an’. Itulah sebabnya ia terletak di awal. Makna filosofisnya adalah bahwa Tuhan mengawali skenario dan penciptaan alam semesta dengan ‘Kalam-Nya’. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an:

إِنَّمَآ أَمْرُهُ إِذَآ أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu”. (QS. Yasin [36]: 82).

2. Kata (اللَّفْظُ) ‘al-Lafzhu’ yang berarti ‘lafaz’; mengisyaratkan tentang mekanisme pewahyuan Al-Qur’an.

Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ dengan berbentuk suara yang dilafazkan, melalui perantara Ruh Quddus (Jibril). Dan hal ini, telah dinyatakan dalam Al-Qur’an:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَائِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا

“Dan tidak patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat)..” (QS. Asy-Syura [42]: 51)

Pada ayat di atas, kita menemukan tiga metode pewahyuan Al-Qur’an. Pertama, melalui ‘wahyu’ (وَحْيًا) (lintasan suara) yang ditancapkan kedalam hati Nabi; kedua, ‘dari belakang tabir’ (وَرَائِ حِجَاب); ketiga, melalui ‘utusan malaikat’ (يُرْسِلَ رَسُوْلاً). Kendatipun demikian, ketiga metode ini tetap mengacu pada satu mekanisme sentral, yaitu ‘suara yang dilafazkan’.

3. Kata (المُرَكَّب) ‘al-Murakkab’ yang berarti ‘tersusun’ atau ‘tarkib’ (susunan); mengisyaratkan tentang antologi Al-Qur’an sebagai kitab suci.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa Al-Qur’an bukan hanya diturunkan berupa suara, melainkan juga isyarat tulisan. Pada masa Nabi, Al-Qur’an telah rampung tertulis. Akan tetapi, tulisan itu masih tercecer dalam berbagai lembaran kulit, tulang unta, lempengan batu dan pelepah kurma. Barulah pada masa khalifah Abu Bakar, tepat setelah selesai perang Yamamah, tahun ke-12 H, dilakukan kodifikasi pertama terhadap Al-Qur’an, dengan mengumpulkan semua tulisan-tulisan wahyu pada masa Nabi, kemudian membuatnya menjadi satu naskah. Adapun kodifikasi kedua (tahap penyempurnaan) dilakukan pada masa khalifah ‘Utsman, sehingga semua naskah-naskah itu dibentuk menjadi satu mushaf resmi (mushaf ‘Utsmani). Dan mushaf inilah yang menjadi rujukan teks Al-Qur’an yang kita baca saat ini.

Isyarat tarkib al-Qur’an (susuna al-Qur’an) dalam konteks  ini, juga dijelaskan dalam Al-Qur’an:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْءَانَهُ

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penghimpunannya (di dadamu), dan (membuatmu pandai) membacanya”. (QS. Al-Qiyamah [75]: 17)

Pada kata جَمْعَهُ  jam’ahu di atas, ulama menyebutkan dua makna; pertama, mujamma’ul Qur’an (huffazul Qur’an); kedua, mujamma’ul Shahifah (penyusunan tulisan Qur’an).

4. Kata (المُفِيْد) ‘al-Mufid’ yang berarti ‘faidah/penjelasan yang sempurna’; mengisyaratkan eksistensi wahyu Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan.

Allah SWT. menurunkan Al-Qur’an sebagai ‘hudan linnas’ “petunjuk bagi manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 185). Demikian pula, ajaran-ajaran Al-Qur’an bersifat ‘rahmatan lil ‘alamin’ “rahmat bagi semesta” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Hal ini menunjukkan bahwa, eksistensi Al-Qur’an bagi manusia adalah sebagai pedoman hidup; pandangan hidup; pegangan hidup; inspirasi dan motivasi serta kawan hidup mereka.

Selain itu, Al-Qur’an juga diturunkan sebagai ‘dzikir’ “peringatan” (Q.S Al-Anbiya’ [21]: 50). Hal ini juga menunjukkan, bahwa eksistensi Al-Qur’an adalah mengajak manusia kepada jalan kebenaran. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam Al-Qur’an, terdapat sekian banyak ayat-ayat yang mengandung perintah (amr) dan larangan (nahi); yang kesemuanya bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Karena sifat manusia yang cenderung ‘lupa’ dan ‘salah’, terkadang membawanya menuju perbuatan yang keliru. Itulah sebabnya, Al-Qur’an hadir sebagai ‘peringatan’.

5. Kata (الوَضْعُ) ‘al-Wadha’ yang berarti ‘bahasa Arab’; mengisyaratkan formalitas linguistik Al-Qur’an.

Al-Qur’an semenjak peristiwa turunnya, adalah menggunakan bahasa Arab. Dengan kandungan sastranya yang tinggi dan indah, membuat orang-orang yang mendengarnya terkesima. Struktur kalimatnya yang halus, merdu, indah dan piawai, membuat Al-Qur’an tidak tertandingi oleh penyair-penyair Mekah waktu itu. Bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah murni ‘Arabiyah; bukan ‘Ajamiyah. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an:

عَرَبِيٌّ مُبِيْنٌ وَهٰذَا لِسَانٌ

“Dan ini (Al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas”. (QS. An-Nahl [16]: 103)

Dalam ayat yang lain juga terdapat penegasan tentang keotentikan bahasa Al-Qur’an, seperti dalam QS. Yusuf [12]: 2:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu berakal”.

Demikianlah analisis yang dapat penulis uraikan pada tema kali ini. Adapun kesimpulannya adalah bahwa kitab matan Jurumiyah yang digunakan sebagai pegangan dasar dalam memahami ilmu Nahwu ini, bukan hanya dapat diserap sebagai konsep gramatikal saja, tetapi dia juga dapat melahirkan paradigma baru, tentunya dengan sudut pandang yang sesuai dengan wujud teks kitabnya, sebagaimana yang penulis lakukan.

Dalam penelitian ini, penulis menemukan satu titik fokus, yaitu yang terdapat pada bagian keempat (بِالْوَضْعِ) ‘dengan menggunakan bahasa Arab’. Dalam titik fokus ini, penulis menggunakan kitab Syarah Dahlan untuk melacak tafsirannya, dan ternyata ulama menyimpulkan bahwa tidak dikategorikan menjadi sebuah kalam, bagi setiap ucapan yang tidak menggunakan bahasa Arab, kendatipun ketiga syarat yang lain telah terpenuhi, seperti; lafaz, murakkab dan mufid.

Maka berdasarkan hal di atas, penulis berpandangan bahwa, suatu ucapan yang mengandung faidah secara komprehensif adalah hanyalah Al-Qur’an (kalam Tuhan). Semua bentuk ucapan, selain dari ucapan Al-Qur’an, sekalipun menggunakan bahasa Arab, terkadang meniscayakan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan..!

Semoga bermanfaat…!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *