FALSAFAH TRILOGI “ALIF” DARUL KAMAL [Melacak Kiprah Perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly]
12 mins read

FALSAFAH TRILOGI “ALIF” DARUL KAMAL [Melacak Kiprah Perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly]

Muhammad Syafirin, Senin/14/2020

***Refleksi keummatan; keislaman; dan intelektual keilmuan.

Tafsir trilogi Alif ini merupakan penelitian terakhir yang penulis persembahkan dalam serial tema “Darul Kamal”. Adapun motifnya, sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya; dalam pendekatan linguistik ‘Darul Kamal’. Akan tetapi, tafsir trilogi Alif  ini memiliki corak yang cukup berbeda, terutama dari segi metodologinya. Kalau dalam penelitian sebelumnya, seperti, Intelektual Platform Darul Kamal, alternatif yang digunakan adalah pendekatan analisis konseptual; dengan membuat definisi filosofis terhadap kata yang tersirat pada huruf دَارُ الْكَمَالِ ‘Darul Kamal’. Maka dalam tema ini, penulis mencoba melacak interpretasi ketiga huruf Alif  yang terdapat pada kata دَارُ الْكَمَالِ  ‘Darul Kamal’ dengan mencari silogisme huruf tersebut dalam Al-Qur’an.

Ada beberapa pertanyaan yang ingin penulis sampaikan sebelum beranjak lebih jauh; pertama, mengapa pada kata دَارُ الْكَمَالِ  Darul Kamal, terdapat satu rumpun huruf yang sama, dan terletak pada 3 tempat yang bebeda, yaitu huruf Alif ?; kedua, mengapa huruf Alif pada kata  دَارُ Daru terletak di tengah kata Daru itu sendiri? Mengapa tidak awal atau akhir saja?; ketiga, mengapa huruf Alif pertama (pada kata Daru) bersifat otonom (menyendiri)? Tidak seperti Alif yang terdapat pada kata الكَمَال  Al-Kamal yang besifat kolektif dalam satu kata?

Tiga pertanyaan di atas, telah mengundang hasrat (animo) yang kuat dalam diri penulis untuk melahirkan interpretasi baru terhadap ‘Darul Kamal’. Dan titik fokus kajian dalam penelitian ini adalah trio Alif Darul Kamal; diharapkan mampu menjadi ikhtiar alternatif untuk melacak jejak kiprah perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa beberapa kajian telah dilakukan oleh dosen-dosen STAI Darul Kamal untuk membahas hal ini. Tetapi, menurut sepengetahuan penulis, kajian-kajian tersebut tidak ada yang secara spesifik membahas permasalahan filosofis; terutama yang berkaitan dengan linguistik ‘Darul Kamal’. Dan penulis beroptimis bahwa, kiprah perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly dapat dilacak melalui falsafah ‘Darul Kamal’ itu sendiri; walaupun meniscayakan interpretasi yang bersifat global.

Untuk merumuskan sebuah falsafah, memang bukanlah hal yang mudah; di samping membutuhkan ketelitian yang mendalam. Pada saat melakukan kajian, seseorang dituntut untuk berfikir filosofis, humanis dan konsentris dzauq (perasaan). Dan langkah-langkah inilah yang penulis terapkan dalam penelitian ini.

Penafsiran atas trilogi Alif ini, berusaha merefleksikan kiprah perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, yang secara visioner terbagi dalam tiga agenda besar; sesuai dengan jumlah Alif yang ada pada (دار الكمال) ‘Darul Kamal’. Pertama, refleksi keummatan; kedua, refleksi keislaman; ketiga; refleksi intelektual keilmuan. Poin yang pertama, dapat kita lacak melalui falsafah yang ada pada Alif dari kata (دَارُ) Daru. Kemudian poin kedua dan ketiga, dapat diketemukan pada Alif  dari kata الكمال ‘al-Kamal’.

Paradigma Pemikiran

Paradigma pemikiran yang penulis gunakan dalam analisis ini tetap berbasis Qur’ani, yakni mencari koneksi huruf Alif yang terdapat pada kata  دار الكمال  ‘Darul Kamal’ dengan ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang dimaksud. Dalam hal ini, penulis memilih kata (إِقْرَأْ)  ‘Iqra’’ sebagai manifestasi dari huruf Alif. Mengapa saya memilih Iqra’?? Karena secara eksplisit, di dalam teks Al-Qur’an, kata (إِقْرَأْ) Iqra’ disebutkan sebanyak tiga kali; sesuai dengan jumlah Alif دار الكمال ‘Darul Kamal’ (QS. Al-Isra’ [17]: 14) (QS. Al-‘Alaq [96]: 1 & 3). Dan kata Iqra’ dalam Al-Qur’an ini sekaligus merefleksikan tiga kiprah utama TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, sebagaimana penulis sebutkan di atas. Kemudian, letak posisi Alif pada kata دار الكمال  membentuk tipologi tersendiri dalam dimensi pergerakannya.

Jika melihat pada body Arabic dari kata ‘Darul Kamal’ (دار الكمال), kita bisa melihat bahwa Alif kata (دار) Daru bersifat terpisah; sedangkan kedua Alif pada kata (الكمال) terlihat menyatu. Tetapi dalam varian posisi ini, baik kata Daru maupun al-Kamal tetap tunggal dalam satu entitas. Ini menandakan dua hal, pertama, dalam mushaf Al-Qur’an, kata Iqra’ bersifat terpisah dalam dua surat; sama halnya dengan yang terjadi pada kata Daru dan al-Kamal. Lihat (QS. Al-Isra’ [17]: 14) (QS. Al-‘Alaq [96]: 1 & 3); kedua, ketiga kiprah besar TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, terbagi dalam dua pola yang terpisah; yaitu kiprah yang dilakukan di luar lingkungan masyarakat tempat beliau tinggal; dan kiprah yang dilakukan di dalam masyarakat dimana beliau tinggal. Adapun perinciannya, akan penulis jelaskan berikut ini.

  1. Kiprah Keummatan: Menuju al-Madinah al-Fadhilah

Sebagaimana kita ketahui, bahwa TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly merupakan salah satu murid kesayangan al-Magfurulah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang dinobatkan sebagai pahlawan Nasional pada 9 November 2017 yang lalu. Hal ini ditandai dengan diangkatnya beliau sebagai Amid ke-4 di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits (MDQH) al-Majidiyyah al-Syafi’iyyah NW Pancor. Maka, dedikasi yang diemban bertahun-tahun di Ma’had itu menjadikan beliau dikenal banyak kalangan; baik dari kalangan ‘awam hingga kalangan cendekiawan.

Selama menjabat sebagai ‘Amid Ma’had, beliau memfokuskan kiprahnya pada dua tempat. Pertama, perjuangan untuk mengembangkan dan memajukan MDQH NW Pancor; kedua, perjuangan mendirikan Yayasan Pondok Pesantren di kampung halaman. Namun, setelah al-Magfurulah Datok Kalijaga TGH. Salehuddin Ahmad wafat, beliau diamanahkan untuk meneruskan dakwah Datok Kalijaga tersebut, hingga sekarang.

Dari sinilah dakwah beliau mengalami ekspansi yang begitu cepat. Pengajian beliau terletak di berbagai kampung, desa, kota, bahkan luar wilayah, lebih-lebih di lingkungan masyarakat tempat beliau tinggal. Setiap malam Jum’at, beliau membuka pengajian Hadits dengan kitab Shahih Bukhari di masjid Kembang Kerang Daya. Kemudian untuk subuh Senin, beliau membuka pengajian Fiqih Tasawuf dengan kitab Sairus Salikin, dan untuk pagi Jum’atnya; kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, di masjid Yayasan Darul Kamal An-Nur NW. Inilah rutinitas keummatan yang eksis beliau jalankan hingga saat ini.

Kiprah keummatan yang beliau jalankan ini tersirat pada Alif (Iqra’) pertama ‘Darul Kamal’. Dalam Al-Qur’an di sebutkan:

إِقْرَأْ كِتَبَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا

Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri sekarang penghisab atas dirimu”. (QS. Al-Isra’ [17]: 14)

Dalam kitab Khawatir Qur’aniyah Nazharat fi Ahdafi Suwaril Qur’an, Amru Khalid menjelaskan, bahwa yang dimaksud perintah ‘membaca kitab’ pada ayat di atas ialah Al-Qur’an. Kesan perintah ini bukan hanya berarti membaca Al-Qur’an secara lafzhiyah (lisan), akan tetapi, kita dituntut untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kandungan yang terdapat pada ayat ini, tepat dan sesuai dengan kiprah TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly. Beliau berdakwah di berbagai kampung, desa, kota, dan lintas pulau sekalipun, itu semua adalah manifestasi dari ‘membaca kitab’ sebagaimana kandungan ayat di atas. Bukankah dakwah itu merupakan bagian dari ajaran dan perintah Al-Qur’an? Maka, sangat tepatlah korelasi ayat dalam (QS. Al-Isra’ [17]: 14) dengan konteks kiprah keummatan yang dilakukan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly.

  1. Kiprah Keislaman: Menuju Generasi Intelektual Religius

Selain berdakwah di tengah-tengah ummat masyarakat, TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, juga menaruh ekspektasi regenerasi muda yang berakhlak dan berkompeten dalam bidang keagamaan. Untuk mewujudkan hal ini, beliau membangun wadah intelektual berbasis religius, yang dikenal dengan Ma’had ‘Aly Darul Kamal. Kelahiran Ma’had ini tidak terlepas dari rasa tanggung jawab beliau sebagai ulama yang mendambakan sosok penerus dakwah dan sanad keilmuan beliau, sehingga dalam setiap pengajian pagi di Ma’had’Aly, beliau selalu menutupnya dengan berwasiat taat kepada Allah, rajin mengaji, belajar, dan bersikap jamak-jamak (kesederhanaan) di dunia.

Selain bertujuan meregenerasi pemuda Islam, tujuan lain Ma’had ‘Aly adalah menjaga tradisi turost (kitab kuning) yang merupakan warisan primordial ulama-ulama Islam era klasik. Karena salah satu ciri khas umat Islam terutama dalam bidang keilmuan adalah ‘sanad’. Tanpa adanya sebuah sanad, maka mustahil pesan-pesan Al-Qur’an dan hadits Nabi akan sampai kepada kita sekarang ini, kalau bukan melalui sanad keilmuan ulama klasik.

Adapun kitab-kitab yang dikaji di Ma’had ‘Aly sangat banyak, tetapi khusus yang diampu oleh TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, terdiri dari empat kitab populer selain dari kitab Ihya’ Ulumuddin dan Sairus Salikin di atas, yaitu Tafsir Jalalain, Fathul Qarib al-Mujib, Shahih Bukhari, dan Riyadhus Shalihin. Untuk timing pengajiannya dimulai dari pukul 07.15-09.00 am.

Kiprah keislaman yang beliau realisasikan ini tersirat pada Alif (Iqra’) kedua ‘Darul Kamal’. Dan eksistensi semangatnya, dapat kita lihat dalam Al-Qur’an:

إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ (۱) خَلَقَ الإِنْسَنَ مِنْ عَلَقٍ (۲)

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta; Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. (Q.S Al-‘Alaq [96]: 1-2)

M. Quraish Shihab menyatakan dalam tafsir Al-Mishbah, bahwa perintah إقْرَأْ (Iqra’) pada ayat di atas dimaknai dengan ‘membaca, meneliti, menelaah, dan menyampaikan; untuk membekali potensi pengetahuan’. Akan tetapi tidak cukup sampai di sana. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan dalam aktifitas ‘pembacaan’ itu, yaitu menyertakan nilai-nilai ketuhanan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan, eksistensi, cara, dan tujuan hidup hanya demi Allah Swt. (bismi Rabbikalladzi khalaq).

Jika aktivitas ‘membaca’ diperintah untuk berkorelasi dengan ‘nilai-nilai ketuhanan’, maka tidak ada bedanya dengan Ma’had ‘Aly Darul Kamal. Para thullab (pelajar laki-laki) dan thalibat (pelajar wanita) di Ma’had ‘Aly, setiap pagi mengaji dan mempelajari kitab-kitab ulama Islam. Didikan dan ajaran yang implementasikan oleh semua pembina Ma’had ‘Aly juga tentunya mengandung nilai-nilai religius dan nilai-nilai ketuhanan.

  1. Kiprah Intelektual Keilmuan

Selain upaya membumikan pesan-pesan Al-Qur’an melalui dakwah, dan mendirikan Ma’had sebagai wadah keislaman, TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, juga ikut berpatisipasi membangun peradaban intelektual keilmuan. Dengan jumlah SDM Desa Kembang Kerang yang cukup memadai, dan banyaknya santri-santri alumni yang tidak mampu melanjutkan study perkuliahan karena keterbatasan finansial, maka tepat pada tahun 2006, didirikannya perguruan tinggi keIslaman (STAI Darul Kamal) dengan membuka prodi Tafsir Hadits. Kemudian beberapa tahun kemudian, STAI Darul Kamal semakin dikenali masyarakat secara luas, seperti Bali, Sumbawa, Flores dan lain-lain. Akan tetapi, STAI yang hanya membuka program Tafsir Hadits itu, ternyata dinilai kurang memuaskan masyarakat. Karena pola masyarakat yang beragam dan kecenderungan minat yang berbeda, akhirnya STAI Darul Kamal kembali membuka tiga prodi sekaligus pada tahun 2015. Di antaranya, prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT); Menejemen Pendidikan Islam (MPI); dan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Ketiga prodi inilah yang sampai sekarang tetap berjalan dan berkembang di STAI Darul Kamal.

Semangat membangun wadah intelektual ini tentunya tidak terlepas dorongan pesan Al-Qur’an sebagai makna tersirat huruf Alif (Iqra’) ketiga pada kata ‘Darul Kamal’. Dalam hal ini, mari lihat dalam ayat Al-Qur’an:

إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ (۳) الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (۴)

“Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah; Yang mengajar dengan pena”. (QS. Al-‘Alaq [96]: 3-4)

M. Quraish Shihab memandang kata Iqra’ yang terdapat pada ayat ketiga di atas, memiliki perbedaan dengan yang terdapat pada ayat pertama. Jika ayat pertama memerintahkan ‘membaca’ disertai dengan penyertaan nilai-nilai ketuhanan, maka ayat ketiga ini memerintahkan untuk ‘membaca’ dalam arti luas, meliputi membaca alam raya, membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulis serta melakukan penelitian dan kajian dalam rangka sebagai persiapan diri terjun ke masyarakat.

Kemudian kata القَلَم ‘al-qalam’ pada ayat di atas menunjukkan arti ‘pena’ (alat tulis). Sebagian mufasir memahami arti ‘pena’ dengan hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan (teks). Kita telah mengetahui bersama, bahwa tulisan (teks) adalah refleksi dari sebuah pemikiran penulisnya terhadap apa yang ia dapatkan atas hasil bacaannya. Dan semua khazanah keilmuan di seluruh dunia, kini tersimpan dalam wujud teks. Bahkan kita dapat berkata, bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Dimana semua ajaran-ajaran dan keilmuan Islam lainnya tersimpan dalam teks. Hal ini terbukti dari banyaknya karya-karya ulama klasik yang masih tersimpan hingga saat ini di perpustakaan-perpustakaan atau museum di berbagai negara Islam maupun Barat.

Dalam konteks kiprah perjuangan TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly, peradaban ‘al-qalam’ (teks) telah mampu terealisasikan dengan cukup sempurna, dengan didirikannya gedung paripurna STAI Darul Kamal. Bahkan bukan hanya itu, berbagai macam kegiatan-kegiatan lainnya seperti literasi mahasiswa, gerakan one week; a book, forum diskusi mahasiswa, forum diskusi pemuda Darul Kamal dan sebagainya; membuktikan eksistensi STAI Darul Kamal dalam melestarikan peradaban intelektual keilmuan khususnya di desan Kembang Kerang.

Berdasarkan analisis di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa, pesan filosofis dari trilogi Alif pada kata ‘Darul Kamal’ menyimbolkan tiga agenda besar yang telah berhasil dikiprahkan oleh pendirinya. Dimana huruf Alif yang terdapat pada kata دار Daru adalah sebagai falsafah keummatan; kemudian dua Alif lainnya yang terdapat pada kata الْكَمَال ‘al-Kamal’ merupakan falsafah keIslaman dan intelektual keilmuan yang berhasil diwujudkan oleh TGH. Muhammad Ruslan Zain Al-Nahdly.

Semoga bermanfaat…..!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *