![“DARUL KAMAL” SEBAGAI TIPOLOGI PEMIKIRAN [Tafsir Kata “Daru” Sebagai Nalar Promotif STAI]](https://aliflam.staidk.ac.id/wp-content/uploads/2020/12/tipologi-mahasiswa.png)
“DARUL KAMAL” SEBAGAI TIPOLOGI PEMIKIRAN [Tafsir Kata “Daru” Sebagai Nalar Promotif STAI]
Jum’at, 11 Desember 2020
Muhammad Syafirin al-Kamaly
***Wajib dibaca oleh Mahasiswa dan alumnus; sebagai pemupuk jiwa bagi mereka yang menjiwai kampus tercinta..!
Beberapa hari yang lalu, saya pernah menyatakan dalam sebuah pujian kepada kampus tercinta, “Darul Kamal….!!! Engkau-kah kampusku? ataukah memang seruling Tuhan??”.
Bagi saya, ungkapan di atas bukan hanya membentuk paradigma berpikir saya dalam menjiwai kampus STAI Darul Kamal. Akan tetapi, juga menjadi stimulus penting yang melahirkan ide-ide baru dalam mempertahankan cita rasa diri saya sebagai mahasiswa STAI Darul Kamal.
Pada bait pujian di atas, saya menyebut kampus STAI Darul Kamal dengan ungkapan metafor sebuah ‘seruling’, dan saya punya alasan atas hal demikian. Jika kita berkata, sebuah seruling merupakan wadah yang darinya lahir beragam corak dan alunan nada, maka sama halnya dengan STAI; yang melahirkan berbagai model dan karakter sarjana. Dan jika kita berkata lagi, keindahan maupun keusilan suatu nada, itu tergantung dari bagaimana seseorang melakoni seruling itu, maka demikian juga dengan STAI; setiap sarjana yang lahir dari rahimnya STAI, merupakan hasil pola usaha dan kreatifitas mahasiswa dalam menjalani studinya selama di STAI. Kerusakan nada yang terucap dari lisan-lisan seruling bukanlah menandakan serulingnya rusak; akan tetapi kreatornya yang bermasalah. Di STAI-pun demikian pula, ulumnus yang lebih cenderung memilih jalan “Syarrun Jana” ketimbang mengabdi sebagai “Sarjana” bukanlah keinginan STAI; namun pemilik titel-lah yang bermusibah. Seruling tetaplah seruling…nada tetaplah nada…! STAI tetaplah STAI…mutakharrij (alumnus) tetaplah mutakharrij..!
Berangkat dari pemahaman di atas, maka saya berani memastikan bahwa, setiap alumnus STAI akan menjalani roda kehidupan di kampung halamannya sesuai dengan kontinuitasnya selama studi di STAI. Saya teringat sebuah nasihat yang sering dikampanyekan oleh guru Mu’allimin saya dulu, yang mengatakan, مَاحَلَّ بِكُمْ فِي مَعْهَدِكُمْ حَلَّ بِكُمْ فِي قَرْيَتِكُمْ ”Ma halla bikum fi Ma’hadikum; halla bikum fi qaryatikum”, ‘Apapun bentuk sikap dan prilaku yang kamu torehkan selama di tempat studimu; itu akan menjadi cerminan hidupmu saat kau pulang ke kampung halamanmu’. Ungkapan ini menurut saya, cukup merefresentasikan pernyataan sebelumnya; dimana realitas yang akan dihadapi para alumnus STAI dalam kontestasi lapangan kerja, tergantung dari ke-efektif-an dan ke-afektif-an nya selama menjadi mahasiswa di STAI. Dan perlu kita ketahui bersama, bahwa STAI memang mengharapkan sosok mahasiswa yang cerdas, terampil, dan berprestasi. Namun pada saat yang sama, STAI juga sangat mendambakan jiwa yang betul-betul mengaktualkan/mengamalkan moralitas kampus sebagai identitas maupun entitas yang cemerlang di dalam bermasyarakat. Sehingga nantinya, STAI bukan hanya dinostalgiakan sebagai ‘gubuk intelektual’ berpampang parit, melainkan juga dijadikan ‘ruh’ yang dengannya ia dapat merasakan arti dan makna hidup. Mahasiswa semacam ini patut dicita-citakan; patut dipupuk; dan patut dilestarikan keberadaannya dalam STAI tercinta.
Dalam prosesi pengajaran akademik, pola mahasiswa sangat beragam. Terkadang kecenderungan dan hobi yang mereka miliki menjadi alasan atas keragaman itu. Banyak di antara mahasiswa yang menciptakan hobi membaca untuk mengejar prestasi, namun tidak sedikit pula yang mengejawantahkan hobi dengan kehendak bebas. Dan hal ini sering saya temukan selama menjalani proses studi. Dalam posisi saya sebagai ketua kelas, saya sering risih bahkan geram terhadap prilaku kawan kelas yang demikian. Disana sini saya mendengar cerita bahwa si A dan si B adalah anak cerdas, dan berprestasi. Akan tetapi realitanya; sering malas kuliah dan tidak membuat tugas. Kalaupun masuk kuliah, toh juga sering telat. Maka pertanyaannya, dimana letak pembuktian prestasi yang dimaksud? Inilah salah satu contoh pengaplikasian hobi yang menurut saya kurang tepat.
Saya terkadang berpendapat, bahwa mahasiswa yang menggunakan ‘hobi’ bukan pada tempatnya, sama seperti orang sakit yang membeli obat tanpa saran dokter. Bukankah ukuran dosis adalah spesialisasi para dokter? Kekerdilan semacam ini bukan hanya berimplikasi pada penyakit yang diderita, tetapi juga berpengaruh pada kecenderungan hidup yang salah.
Saya tertarik dengan cerita salah seorang dosen saya, Syamsul Wathani, yang beliau utarakan pada saat mengajar MK Metode Penulisan Karya Tulis Ilmiah tahun 2019 yang lalu. Beliau berkata, “Saya tidak suka dengan mahasiswa yang memanjakan otaknya untuk berpikir. Padahal kehidupan ini senantiasa berkembang dan dinamis. Saya dulunya termasuk salah seorang santri ternakal di sini. Akan tetapi, hobi kenakalan itu, saya transfer menjadi ‘kenakalan membaca’ buku pada saat saya kuliyah di Jogja”.
Nasihat serupa pernah disampaikan juga oleh ketua Kaprodi IAT, Muhammad Yunus, pada saat beliau mengampu MK Takhrij Hadis tahun 2019. Beliau menuturkan, “Saya tidak sepakat dengan sebuah persepsi; bahwa sebuah karakter manusia tidak bisa dirubah, karena ia bersifat khuluqiyah (dari sono-nya). Bagi saya, karakter itu mewujud atas dasar tabiat, dan sesuatu yang dinamai tabiat itu; berdasarkan kecenderungan yang ia lakukan. Apabila kalian ingin menciptakan tabiat ‘membaca buku’, maka biasakanlah diri kalian membaca, walaupun dengan porsi yang standar; dengan syarat kontinyu setiap hari. Maka saya yakin lama-kelamaan kalian akan terbiasa membaca buku”.
Perkataan yang lebih menantang, pernah di utarakan oleh dosen MK Ushul tafsir saya, TGH. Ahmad Habib Thanthawi. Beliau berkata, “Biasakanlah diri kalian membaca. Dan bacalah semua buku, apapun jenis dan coraknya. Karena kaidah mengatakan الْعِلْمُ بِالشَّيْءِ أَفْضَلُ مِنْ جَهْلٍ “Mengetahui sesuatu, lebih berharga dari tidak mengetahui sama sekali”. Al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang menyebutkan ungkapan orang-orang kafir, toh juga kita membacanya dinilai ibadah.”……!
Baiklah sahabat sekalian! Berangkat dari problem-problem di atas, saya ingin menawarkan ide baru tentang keragaman yang terjadi dalam prosesi kegiatan pembelajaran di STAI Darul Kamal. Dalam penelitian ini, saya mencoba untuk mengalisis kata دَارُ “Daru” yang merupakan bagian dari kata دَارُ الْكَمَالِ “Darul Kamal”. Alasan saya tetap konsistensi menggunakan “Darul Kamal” sebagai paradigma penafsiran adalah berangkat dari kesadaran emosional dalam menjiwai kata “Darul Kamal” itu sendiri. Dan saya berani berkata, selama otak ini masih mampu mencari solusi dan jawaban dari kata “Darul kamal”, maka saya tidak akan pernah puas untuk menjadikannya sebagai basis paradigma berpikir saya, bahkan hingga tahap penelitian skripsi nantinya.
Sebetulnya, ini adalah analisis awal saya terhadap kata sebuah kata yang merupakan bagian dari “Darul Kamal”. Makanya, judul di atas saya cantumkan “Tafsir Kata ‘Daru’ Sebagai Nalar Promotif Kampus STAI”, menandakan fokus kajian analisis saya hanya pada kata “Daru”. Sedangkan kata “Al-Kamal” akan menjadi bahasan tersendiri dengan judul berbeda nantinya.
Tahukah kawan-kawan, bahwa dalam kata “Daru” ini terdapat sekian banyak rahasia dan makna. Tapi satu hal yang harus diketahui, kajian yang disajikan ini merupakan nalar ijtihadiyah saya dalam memahami kata دَارُ “Daru” ini. Saya tidak mengatakan kajian ini adalah kebenaran pasti (definite), dan kita boleh jadi berbeda pendapat selama punya alasan masing-masing.
Saya memandang دَارُ “Daru” merupakan refleksi kampus STAI Darul Kamal dalam mengilustrasikan tipologi mahasiswanya. Dan saya berani menyatakan ini adalah sebuah keajaiban. Pada bahasan kemarin, kita telah mengetahui makna دَارُ “Daru” adalah rumah. Mari kita lihat, suatu rumah yang terdiri dari beberapa anggota keluarga, pasti memiliki perilaku berbeda dan sifat yang tentunya tidak sama. Maka kita bisa berkata, dalam STAI Darul Kamal terdapat beragam tipologi mahasiswanya. Sekurang-kurang ada tiga tipologi sesuai dengan jumlah huruf kata دَارُ ”Daru” yaitu: (د) –( ا) –( ر ) ‘Dal’‒‘Alif’‒‘Ro’.
- Tipologi Kompetitip ( طَالِبُ الْعِلْمِ )
Tipologi ini ditandai dengan huruf (د) ‘Dal’. Huruf ‘Dal’ merupakan singkatan dari دَرْسٌ- دُرُوْسٌ “Dars‒Durus” yang artinya ‘pelajaran; pendidikan’. Dalam Al-Qur’an terdapat enam ayat yang menggunakan akar kata “Dars” ini. Di antaranya: تَدْرُسُوْنَ “Tadrusun” (QS. Ali ‘Imran [3]: 79); دَرَسْتَ “Darast” (Q.S Al-An’am [6]: 105); وَدَرَسُوْا ; “Darasu” (Q.S Al-An’am [6]: 156); يَدْرُسُوْنَهَا “Yadrusu” (QS. Al-A’raf [7]: 169); تَدْرُسُوْنَ “Tadrusun” (QS. Saba’ [34]: 44); دِرَاسَتِهِمْ “Dirasat” (QS. Al-Qalam [68]: 37).
Kata دَرْس “Darast” dalam Al-Qur’an selalu diidentikkan dengan kitabiyah atau mempelajari ‘kitab’. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:
…كُوْنُوْا رَبَّنِيِّيْنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتَبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ
“Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya”. (QS. Qli ‘Imran [3]: 79).
أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيْهِ تَدْرُسُوْنَ
“Apakah kamu mempunyai kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu pelajari?”. (QS. Al-Qalam [68]: 37).
وَمَا ءَاتَيْنَهُمْ مِنْ كُتُبٍ يَدْرُسُوْنَهَا
“Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca”. (QS. Saba’ [34]: 44).
Pada tiga contoh ayat di atas, kata “Dars” selalu diilustrasikan dengan aktifitas membaca dan pembelajaran. Kedua aktifitas ini merupakan ciri khas ‘penuntut ilmu’ ( طَالِبُ الْعِلْمِ ) . Tipologi seperti ini memang ada. Di STAI Darul Kamal misalnya, banyak kita temukan type mahasiswa yang gemar membaca buku, diskusi, dan hobi literasi. Tentunya semua ini merupakan mainsteam mereka untuk mendapat assessment yang bagus dari para dosen. Pola pikir (mindset) dan sikap (attitude) mereka selalu ingin lebih unggul (prime) dari kawan-kawan kelasnya (perfeksionis). Inilah alasan saya menyebutnya sebagai tipologi mahasiswa yang kompetitif atau fakultatif. Artinya fokus mengejar prestasi akademik yang unggul (academic excelence student).
- Tipologi Produktif Ideal ( طَالِبُ الْعِلْمِ وَحِكْمَةٍ ).
Tipologi ini dapat kita lacak pada huruf ‘alih ( ا ) yang ada pada kata دَارُ “Daru”. Huruf ‘alif’ merupakan singkatan dari اِقْرَأْ “Iqra’” yang merupakan bentuk ‘perintah’ (amr) dari akar kata قَرَأَ “Qara’a” (membaca). Dari akar kata ini, Allah menggunakannya sebanyak 16 kali dalam Al-Qur’an. Di antaranya, قُرِئَ “Quri’a” (QS. Al-A’raf [7]: 204); يَقْرَءُوْنَ “Yaqra’un” (QS. Yunus [10]: 94; QS. Al-Isra’ [17]: 71); قَرَأْتَ “Qara’ta” (QS. Al-Nahl [16]: 98; QS. Al-Isra’[17]: 45); اقْرَأْ “Iqra’” (QS. Al-Isra’ [17]: 14; QS. Al-‘Alaq [96]: 1 & 3), dan lain-lain.
Kata إِقْرَأْ “Iqra’” pada ayat-ayat di atas diartikan dengan ‘membaca’. Pengertian yang dimiliki kata “Iqra’” cukup berparitas dengan kata دَرْس “Dars” (belajar), jika dilihat dari dimensi fungsionalnya. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa, ini hanyalah hipotesa. Karena jika kita mendalami kata اقْرَأْ “Iqra’” dalam Al-Qur’an, sungguh maknanya akan akan berbeda dengan دَرْس “Dars”. Mari kita lihat dalam;
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الإِنَسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena”. (Q.S Al-‘Alaq [96]: 1-3)
Para mufasir memahami kata اقْرَأْ “Iqra’” yang terdapat pada ayat di atas, bukan hanya bermakna ‘membaca’. Syaikh Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar Mesir) yang menulis dalam bukunya, Al-Qur’an Fi Syarh Al-Qur’an bahwa: “Dengan kalimat iqra’ bismi Rabbik, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik sifatnya aktif maupun pasif”.
Dari pernyataan di atas, kita bisa mengidentifikasi beberapa makna اقْرَأْ “Iqra’” di antaranya: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya.
Jikalau kita melihat kata setelah Iqra’ pada ayat di atas, yakni bismirabbika, maka kita bisa menemukan dua unsur yang laten, yaitu intelektualitas dan spiritualitas. ‘Iqra’ yang dimaknai dengan membaca, meneliti, dan bereksperimen itu merupakan entitas intelektual. Sedangkan ‘bismi Rabbik’ (menyebut nama Tuhan) melambangkan spiritualitas, karena meniscayakan nilai-nilai ke-Tuhan-an di dalamnya.
Maka berdasarkan analisis ini, saya berpendapat bahwa, jenis yang tepat untuk tipologi kedua adalah produktif ideal (excellence student). Karena tipologi ini bukan hanya efektif dalam kompetisi akademis, namun juga unggul dalam nilai-nilai spiritual ( طَالِبُ الْعِلْمِ وَحِكْمَةٍ ). Di dalam STAI Darul Kamal sudah barang tentu ada tipologi semacam ini. Sekian banyak mahasiswa, di samping aktif dalam kontinuitas perkuliahan, aktif pula mengikuti program Ma’had ‘Aly Darul Kamal, yang walaupun hanya sebagian yang bisa faham kitab turast (kitab kuning). Intinya, ada lah ya..! walaupun hanya kurang dari tiga orang…!
- Tipologi Konsumtif Adiktif ( طَالِبُ الْعِلْمِ وَحِكْمَةٍ فِي الأَقْوَالِ وَلَا فِي الْأَفْعَالِ )
Tipologi ini dapat kita lacak pada huruf ( ر ) “Ra” pada kata (دَارُ). Huruf (ر) “Ra” adalah singkatan dari رَهْبَة “Rahbah” yang berarti ‘ketakutan’, dari asal kata رَهَبَ ‘peasaan takut’. Kata رَهَبَ digunakan sebanyak 12 kali dalam Al-Qur’an, seperti; وَاسْتَرْهَبُوْهُمْ “Istarhab” (Al-A’raf [7]: 116); تُرْهِبوْنَ “Turhib” (Al-Anfal [8]: 60); رَهْبَةً “Rahbah” (QS. Al-Hasyr [59]: 13), dan sebagainya. Dari sekian banyak yang disebutkan dalam Al-Qur’an, kata رَهَبَ berkisar pada dua arti, ‘perasaan takut; gemetar’. Saya akan mengambil contoh dari sebuah ayat yang berbunyi:
لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِى صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللهِ, ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Sesungguhnya dalam hati mereka, kamu lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr [59]: 13).
Ayat ini, dalam salah satu pendapat mufasir, menceritakan sikap ketakutan yang dialami oleh orang-orang munafik. Mereka lebih takut terhadap hal-hal yang bersifat lahiriah daripada takut kepada Allah. Padalah, yang patut ditakuti adalah Allah Swt. Yang Mahaperkasa dan Mahaagung.
Dari pemahaman di atas, saya mencoba merumuskan tipologi mahasiswa yang ketiga, yaitu konsumtif adiktif. Tipologi ini paling banyak menghegemoni mahasiswa di setiap Perguruan Tinggi maupun Universitas, tidak terkecuali di STAI Darul Kamal. Tipologi konsumtif; saya pahami sebagai tipikal mahasiswa kupu-kupu, yaitu kuliah terus pulang. Mahasiswa semacam ini tidak memiliki orientasi akademik yang sehat. Padahal jika ditanya, mau jadi apa?? Semua di sebut..! tapi tidak mrealisasikan apa-apa. Makanya di atas saya menulis طَالِبُ الْعِلْمِ وَحِكْمَةٍ فِى الْأَقْوَالِ وَلَا فِى الْأَفْعَالِ ‘mahasiswa yang mendambakan kepintaran dan kesolehan; namun hanya sebatas ucapan. Bukan perbuatan’.
Jika رَهْبَة “Rahbah” berarti ‘ketakutan’, maka mahasiswa konsumtif adalah mahasiswa yang menginginkan kesuksesan tapi takut untuk berjuang; kaku bergerak; enggan menyisihkan uang untuk membeli buku; takut persentasi, dan sebagainya. Padahal yang patut untuk mereka takuti adalah masa depan curam di kampung halaman.
Demikianlah analisis sedehana yang mampus saya suguhkan pada kesempatan kali ini, walau sebetulnya, tema ini tidak akan bisa habis-habis jika kita ungkap semuanya. Belum lagi kita bahas dimensi filosofisnya bagaimana, dan kritik moral yang dituangkan pada kata “Daru” itu sendiri seperti apa, belum lagi yang lain-lain. Tapi saya berharap, semoga tulisan ini mampu menyadarkan kita sebagai mahasiswa-mahasiswi STAI Darul Kamal, untuk terus maju dan semangat. Lebih-lebih jangan lupa “always happy” (Pak Habib Husnial Pardi)….sekian..!
Semoga bermanfaat..!
#Salam Literasi Mahasiswa
#IAT_V_Darul_Kamal_NW_Menulis