Tafsir Kontekstual dan Sikap Kesarjanaan yang Skeptik Terhadapnya: Sebuah Tanggapan (part 1)
Muhammad Syafirin, 09/11/2025
Era di mana semua (atau paling tidak, sebagian besar) teks-teks masa lalu, termasuk Kitab Suci agama, dituntut agar dapat diartikulasi dan dipahami berdasarkan “selera zaman” masyarakat modern, maka diskursus yang menempatkan ‘Tafsir Kontekstual’ sebagai mesin baru pencarian makna teks benar-benar menemukan momentumnya.
Dalam Interpreting the Quran (1986), Fazlur Rahman mengilustrasikan bagaimana pentingnya memahami Qur’an secara kontekstual. Keniscayaan model tafsir ini, menurutnya, merupakan jawaban atas kebutuhan mendesak kaum Muslim dewasa ini untuk menciptakan semacam teori baru yang memadai guna memahami pesan-pesan Qur’an secara utuh. Ekspektasi Rahman sederhana, yakni agar dimensi-dimensi teologis, etis maupun etika-legal Al-Qur’an dapat menjadi suatu keseluruhan yang holistik dan padu.
Untuk mewujudkan ekspektasinya itu, Rahman mengusulkan desain metode “baru” yang ia sebut dengan teori “gerakan ganda” (double movement). Metode ini dirancang sebagai instrumen untuk menggali ‘basic elan’ atau pesan-pesan dasar yang terkandung dalam Qur’an. Karena dalam realitasnya, Qur’an sering kali dipahami hanya dari permukaannya saja. Padahal, “Qur’an laksana puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilan persepuluh darinya terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak di permukaan,” demikian ungkap Rahman.
Melalui metode yang dirancangnya itu, Rahman menekankan pentingnya seseorang mengetahui konteks Qur’an. Bahkan lebih jauh, ia mengajak kita untuk mengeksplorasi bagaimana teks Kitab Suci kaum Muslim itu dipahami oleh audiens pertama di zamannya.
Namun demikian, diskursus menyangkut model penafsiran ini belakangan mulai di-rethinking kembali oleh sebagian sarjana, dan tentu saja ini menimbulkan pergeseran nilai dari spirit awalnya, sebagaimana yang diharapkan Rahman di atas. Sebagian scholars yang kritis terhadap bangunan metodologi ini menaruh sikap yang skeptis dengan mempertanyakan ulang status maupun eksistensinya. Poin utama yang mereka gaungkan adalah bahwa Qur’an sama sekali tidak punya interes atau kepentingan untuk merespon segala persoalan kontemporer hari ini.
Lebih radikalnya, mereka juga mengklaim bahwa proyek-proyek penafsiran yang dihasilkan dari upaya pengkontekstualisasian pesan-pesan Qur’an tidak lebih dari hanya merupakan “penyambung lidah” dan “perpanjangan tangan” dari pengaruh kolonialisme Barat, sehingga terkesan bahwa Qur’an terlalu dipaksakan tampil untuk merespon masalah-masalah kontemporer. Misalnya, isu tentang HAM, pluralisme, sekularisme dan sebagainya, yang sebetulnya Qur’an sendiri, menurut mereka, tidak pernah menyinggung soal itu.
Saya sangat memahami apa yang menjadi kegelisahan para scholars ini. Di satu sisi, memang, kita menyadari bahwa kajian-kajian Qur’an hari ini, terutama di Indonesia, sudah sangat masif sekali. Jika kita membuka laman scholar misalnya, kita akan dapati berjimbun-jimbun artikel penelitian tentang ini. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan semacam “inflasi” kajian terhadap Qur’an, yang tidak jarang menunjukkan ketidakmatangan para peneliti dalam mengungkap makna atau pesan Qur’an.
Apakah benar bahwa Qur’an tidak mempunyai kepentingan untuk menjawab segala persoalan kontemporer?
Asumsi ini pada dasarnya tidak salah, hanya saja perlu ditinjau ulang. Terlebih diksi “segala” yang dimaksud dalam pernyataan tersebut perlu didudukkan terlebih dahulu. Namun saya kira, yang dimaksud di sini (dan sudah disebutkan di atas) adalah isu-isu kemanusiaan yang menjadi diskursus masyarakat global saat ini, seperti persoalan HAM, pluralisme, sekularisme, feminisme dan lain sebagainya.
Pertama, saya ingin menjawab dengan sebuah ilustrasi begini. Ketika saya membaca tulisan kritis Mohammed Arkoun, misalnya, boleh jadi apa yang Arkoun kritik mengandung kebenaran berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat Aljazair di mana ia lahir dan dibesarkan. Tetapi kritik yang sama, belum tentu dapat diterima jika diterapkan dalam konteks masyarakat yang memiliki soft culture dan iklim sosio kultural yang majmuk seperti di Indonesia, sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara Arab manapun.
Hal itu terjadi karena, tulisan-tulisan Arkoun memang tidak dirancang untuk merespon persoalan-persoalan global, lintas benua, komunitas, budaya maupun zaman, meski pada saat yang sama, kita dapat berkata bahwa sebagian dari pemikirannya bisa saja mengandung relevansi dengan konteks-konteks tertentu dalam kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia.
Apa yang terjadi pada tulisan Arkoun itu tentu saja tidak bisa dipersamakan dengan Qur’an. Sebab, Qur’an bukanlah buku akademis (dan saya kira, kita sudah sering mendengar jargon ini) yang hanya merespon persoalan temporal yang terjadi di zamannya. Ia juga bukan semacam kumpulan theories of science yang setiap saat bisa berubah-ubah.
Menurut saya, mengklaim bahwa Qur’an tidak memiliki kepentingan untuk merespon segala persoalan (kemanusiaan) kontemporer, bukan hanya bertentangan dengan adagium “Al-Qur’ān ṣāliḥ li kulli zamān wa makān” yang menjadi tonggak spirit para ekseget Muslim melahirkan inovasi-inovasi baru dalam penafsiran, melainkan juga terkesan disonansial dengan pernyataan teologis Qur’an sendiri yang menyebut dirinya sebagai “Tibyānan likulli syai’ wa hudān wa raḥmah” (yang menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat) (lihat, Qs. An-Naḥl [16]:89).
Perlu diketahui bahwa, memahami Qur’an dan makna pesannya adalah suatu hal tersendiri, serta membatasi pesannya untuk konteks historis adalah hal lainnya. Sebagaimana Fazlur Rahman dalam Interpreting the Quran ajarkan bahwa, mustahil bagi kita untuk menguniversalkan pesan Qur’an melampaui masa dan tempat pewahyuannya, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap maknanya.
Atas dasar ini, maka asumsi para scholars di atas dengan sendirinya mengandung problem. Problem di sini bukan hanya karena Qur’an tidak menunjukkan sikap demikian, tetapi karena mereka (para scholars itu) Justru mengkambinghitamkan pendekatan kontekstual sebagai alat pencocoklogian antara pesan-pesan Qur’an dengan segala hiruk pikuk kehidupan manusia modern saat ini.
Padahal, kaum kontekstualis sendiri menyadari bahwa banyak bagian Qur’an yang memang tidak mensyaratkan pemahaman kontekstual, karena ayat-ayat itu langsung relevan dengan beragam konteks. Abdullah Saeed sendiri menjelaskan bagaimana posisi tafsir ini dalam bukunya Reading the Qur’an in the Twenty-first Century (2014). Menurut Saeed, fokus utama bagi pendekatan kontekstual adalah apa yang ia sebut dengan “macro-context” (konteks makro).
Konteks makro dibagi dua: pertama, “konteks makro 1” yaitu konteks pewahyuan Al-Qur’an pada abad ketujuh Masehi; kedua, “konteks makro 2” yaitu konteks saat ini di mana kegiatan penafsiran Qur’an dilakukan. Bagi kaum kontekstualis, membandingkan dua konteks makro ini sangatlah penting. Tujuannya adalah mengejawantahkan makna teks Qur’an dari konteks makro 1 menuju konteks makro 2 tanpa menanggalkan konteks periode-periode lain yang mengitarinya.
Nah, untuk menggabungkan kedua konteks makro itu, pengetahuan terhadap periode-periode historis menjadi kunci untuk mengetahui bagaimana generasi-generasi Muslim secara berkesinambungan mengaplikasikan teks Qur’an dan normanya ke dalam kehidupan mereka. Inilah yang Saeed istilahkan dengan “connector context” (konteks penghubung). Tanpa konteks penghubung ini, upaya penggabungan itu tidak akan berhasil.
Jika konsep ini dipahami dengan benar, niscaya kita sadar bahwa penafsiran kontekstual sebetulnya merupakan keniscayaan bagi kaum Muslim agar dapat mengamalkan Kitab Suci mereka berdasarkan kondisi dan siatuasi kehidupan di zamannya.
Tafsir Kontekstual: Perpanjangan Tangan dari Proyek Kolonialisme Barat, Benarkah?
Jawaban atas pertanyaan ini akan saya diskusikan dalam sesi kedua artikel ini. Tulisan ini saya persembahkan untuk kawan berpikir terbaik saya M. Nurwathani Janhari (kandidat doktoral jurusan Studi Qur’an di UIN Suka Yogyakarta). Dia benar-benar telah membakar semangat saya untuk mengoceh 1000 kata hari ini!
