Menata Nalar Melepas Belenggu Konservatisme: Tadarus Pluralisme Agama dalam “Think Outside The Box” (bagian 1)
Bagaimana kita mendekati suatu tema, persoalan, diskursus, atau wacana, akan menentukan apakah wacana tersebut menjadi menarik atau hanya bersifat repetitif belaka. Dengan metode pembacaan yang baru, diskursus lama akan mampu menyuguhkan perspektif-perspektif baru yang bisa memperkaya horizon berpikir para pembaca. Tapi sebaliknya, dengan metode pembacaan lama, diskursus baru pun akan tampak usang dan kehilangan makna kebaruannya. Dengan pendekatan baru, persoalan-persoalan klasik akan tetap bisa memberi kita makna-makna baru yang relevan dengan problematika yang tengah kita hadapi dewasa ini. Sebaliknya dengan pendekatan lama, persoalan-persoalan baru pun kehilangan relevansi dan aktualitasnya untuk menjawab problem aktual kita hari ini. Pertanyaan bagaimana biasanya berhubungan dengan epistemologi atau metodologi.
Sebagaimana judulnya, Think Outside The Box, Mun’im Sirry mendiskusikan puspa ragam persoalan lama, bahkan tema-tema yang mungkin sudah menjadi klasik dengan pendekatan baru. Mun’im berupaya mengolah berbagai pemikiran para sarjana, baik klasik maupun kontemporer dalam rangka menawarkan perspektif alternatif bagi para pembaca. Dengan berpijak pada gagasan-gagasan brilian para ilmuwan, Mun’im mencoba menyuguhkan penjelasan, solusi, dan jawaban-jawaban alternatif yang kontekstual dengan berbagai problematika yang tengah dihadapi masyarakat kontemporer. Dengan alasan inilah, Thinking Outside The Box itu diperlukan sebagai cara berpikir secara kreatif dan inovatif untuk menemukan argumen alternatif.
Buku ini mendiskusikan pelbagai wacana, seperti Al-Qur’an, Makna dan Lafaz, Sejarah Teks Al-Qur’an, Tafsir dan Alkitab, Nikah Beda Agama, Pluralisme Agama, Pluralisme Cantwell Smith serta Catatan Serba-Serbi. Karena itu, dalam tulisan ini, saya hanya akan mengulas wacana tentang pluralisme agama (bagian 1) dan gagasan pluralisme Cantwell Smith (di bagian 2) secara sekilas.
Pluralitas, Pluralisme, dan Pluralitas Pluralisme: Samakah?
Menurut Mun’im, dalam pengertian deskriptif, pluralitas dan pluralisme memang sama. Dua istilah tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan adanya keragaman agama atau perbedaan agama. Dalam pengertian ini, maka pluralisme bukanlah sesuatu yang kontroversial karena semata mengakui kenyataan adanya keragaman agama.
Namun demikian, dalam perbincangan di kalangan sarjana dan teolog, ketika istilah “pluralisme agama” digunakan, maka yang dimaksud bukan pengertian deskriptif melainkan prinsip normatif dan filosofisnya. Yakni, pluralisme agama bukan semata pengakuan terhadap fakta adanya keragaman agama di muka bumi, tapi juga sebuah gagasan yang mengapresiasi keragaman itu sebagai bernilai Positif. Artinya, keragaman agama dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu yang baik karena merupakan karunia Ilahi.
Dalam pengertian ini, pluralisme bukan istilah netral dan deskriptif tentang kenyataan adanya pluralitas agama. Pluralisme merupakan sebuah gagasan yang mendukung dan memberikan penilaian positif terhadap fenomena perbedaan agama. Gagasan pluralisme agama yang menyikapi pluralitas secara positif merupakan salah satu solusi terhadap ketegangan dan permusuhan yang dipicu oleh kenyataan adanya keragaman agama itu. Secara konseptual, pluralisme adalah suatu upaya teologis untuk menyelesaikan problem keragaman, baik pada level praktis maupun teoretis.
Secara praktis, gagasan pluralisme agama menuntut kaum pluralis (pendukung pluralisme agama) bersikap aktif bergumul dengan agama-agama. Kita tak mungkin bersikap positif jika tak tahu apa-apa tentang agama lain yang hendak disikapi. Berbeda dengan sikap negatif yang, biasanya, muncul tanpa mempelajarinya, alias karena kebodohan. Dalam pepatah Arab disebutkan “al-nās a‘dāu mā-jahilu” (manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya). Karenanya, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Sementara toleransi mengasumsikan kita dapat menolerir keberadaan agama lain yang kita tidak suka, pluralisme berbasiskan sikap apresiasi dan menilai perbedaan agama bersifat positif.
Sikap apresiatif terhadap agama yang berbeda diharapkan dapat menumbuhkan relasi yang saling menghargai. Memang, orang masih bisa menghargai orang lain yang berbeda agama kendati menganggapnya “sesat”, “kafir”, “penghuni neraka” dan seterusnya. Namun, relasi yang didasarkan pada penilaian dan sikap positif dipastikan lebih kuat dan genuine, karena fondasinya mendukung.
Secara teoretis, pluralisme agama tidak didasarkan pada premis untuk menyamakan agama. Sudah terang benderang bahwa agamaa-agama itu berbeda. Jadi, tujuannya bukan untuk mencapai kesepakatan bahwa semua agama adalah sama. Sebaliknya, keragaman itu perlu diselebrasi, dirayakan, dan disyukuri sebagai desain Ilahi. Kalau menggunakan bahasa al-Qur’an (QS. 5:48), jika Tuhan menghendaki, tak ada yang sulit bagi-Nya menjadikan seluruh umat manusia menganut satu agama. Tapi bukan itu yang dikehendaki-Nya. Jadi, keragaman agama merupakan kehendak Tuhan sendiri.
Bagi pendukung gagasan pluralisme agama, kebhinekaan merupakan dimensi yang melekat pada kehidupan umat manusia dan dibenarkan oleh kekuatan Ilahi. Tentu saja, kaum pluralis punya pandangan dan visi yang berbeda-beda tentang apa yang mereka maksud dengan sikap apresiatif terhadap keragaman, terutama manakala terkait isu kebenaran. Sebagaimana didiskusikan dalam buku ini, kalangan pluralis mengajukan argumen beragam soal keselamatan penganut agama lain (dengan kata lain, apakah mereka bisa masuk surga atau tidak).
Terlepas dari perbedaan argumen itu, mereka bersepakat bahwa realitas keragaman tidak boleh direduksi dan dieliminasi sehingga hanya menjadi kebenaran tunggal. Menafikan keragaman agama berarti tidak menerima kehendak Tuhan dan mengingkari kebutuhan manusia untuk berkembang.
Yang terakhir ini didasarkan pada keyakinan bahwa watak kemanusiaan kita cenderung berkembang bersama-sama dengan yang lain, bukan sendirian. Dan pluralisme agama tidak semata mengakui opsi-opsi keagamaan yang tersedia di dunia. la juga sebuah gagasan bahwa keragaman pengalaman hidup manusia merupakan semacam “waduk” yang darinya mengalir curahan air kehidupan yang dapat menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan, pada akhirnya, membawa kesejahteraan bagi seluruh jagad raya.
Kemudian Mu’im menurunkan beragam tipe pluralisme dari berbagai pakar. Muhammad Legenhausen, dalam artikelnya berjudul “On the Plurality of Religious Pluralism”, menyebut tujuh macam pluralisme agama. Yang pertama disebut “Soteriological religious pluralism”. Yakni, paham pluralisme yang menekankan pada aspek jalan keselamatan: Setiap agama mengajarkan dan menyediakan hidayah menuju surga (keselamatan). Jadi, penganut setiap agama bisa mendapatkan keselamatan melalui ajaran agamanya, kendati pun jalan yang disediakan satu agama boleh jadi lebih mudah dari yang lain.
Tipe kedua disebut “normative religious pluralism”. Yakni, setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan yang perlu direspons secara positif. Kenyataan bahwa masing-masing agama memiliki ajaran berbeda bukanlah alasan untuk menyingkirkan atau mengutuknya. Pandangan ini disebut “normatif” karena menekankan pada martabat manusia yang diajarkan dalam setiap agama. Ketiga, “epistemological religious pluralism” memandang bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam setiap agama dapat dijustifikasi berdasarkan kriteria epistemologis tertentu. Misalnya, soal keesaan Tuhan. Pada intinya, menurut pendukung pola ini, keesaan itu ada dalam setiap agama, walaupun diekspresikan berbeda-beda.
Keempat, “alethic religious pluralism” menekankan pada aspek kebenaran (truth) dalam agama. Yakni, tipe pluralisme agama yang menegaskan bahwa kebenaran dalam setiap agama itu setara (equal), alias sama-sama benar. Paham pluralisme ini menolak asumsi adanya superioritas satu agama atas agama lain. Persoalan yang kerap dimunculkan terkait paham pluralisme ini ialah keberadaan klaim-klaim yang bertentangan antara satu agama dan agama lain. Klaim-klaim yang bertentangan secara logis ini biasanya dikenal dengan istilah “dialethism,’ sesuatu yang diterima di kalangan Sufi, seperti Ibnu Arabi. Kaum pluralis tipe ini biasanya menjelaskan bahwa pertentangan klaim kebenaran merupakan refleksi keterbatasan manusia menggapai Kebenaran Absolut (Yang Riil). Ada juga kalangan pluralis yang berargumen bahwa kesetaraan kebenaran ada pada level tertentu.
Kelima, “ethical religious pluralism”. Pluralisme ini menegaskan kesamaan dalam hal ajaran-ajaran etis dan moral. Moralitas yang diajarkan masing-masing agama adalah baik dalam standardnya sendiri-sendiri. Tipe keenam cukup mirip dengan sebelumnya karena menekankan pada aspek praktis; namun bukan soal moralitas, melainkan kewajiban. Tuhan mewajibkan penganut agama untuk melakukan perbuatan tertentu yang diajarkan dalam agama itu. Tipe pluralisme ini disebut “deontological religious pluralism.”
Tipe terakhir ialah “hermetic religious pluralism”. Pluralisme ini melihat sisi terdalam dari tradisi agama. Perbedaan agama-agama tidak diingkari, namun perbedaan tersebut dianggap (hanya) bagian luarnya (eksoteris). Pada sisi terdalam (esoteris), agama-agama yang berbeda memiliki kesamaan. Misalnya, semua agama yang berbeda menuju ke satu tujuan yang sama, yakni kebajikan parenial yang terdiri dari berbagai prinsip metafisik. Tipe pluralisme ini biasanya diasosiasikan dengan kaum perenialis, seperti René Guénon dan Frithjof Schuon, dua nama yang disebutkan oleh Legenhausen.
Menarik dicatat, Legenhausen memang tidak menyebut nama-nama kaum pluralis yang merepresentasikan setiap tipe, kecuali John Hick yang disebutnya mewakili tipe keempat. Berbeda dengan Legenhausen, Anselm Kyongsuk Min memetakan keragaman pluralisme agama dengan menunjuk para penggagas. Dalam artikelnya berjudul “Dialectical Pluralism and Solidarity of Others”, Min menyebut secara singkat tipologi pluralisme sebagai berikut.
Pertama, “phenomenalist pluralism” yang diwakili oleh John Hick and Paul Knitter. Pluralisme model ini melihat agama-agama sebagai respons fenomenal yang beragam terhadap realitas transendental yang sebenarnya tak dapat sepenuhnya dideskripsikan. Model pluralisme kedua disebut “universalist pluralism”. Pendukung pluralisme ini termasuk Leonard Swidler, Wilfred Cantwell Smith, Ninian Smart, Keith Ward, dan David Krieger. Mereka mengusulkan didasarkan pada pentingnya teologi universalis yang Pengetahuan yang diperoleh dari sejarah agama-agama.
Ketiga, “ethical atau soteriocentric pluralism” diusulkan oleh Rosemary Ruether, Marjorie Suchocki, Tom Driver, dan Paul Knitter, yang menekankan pada prinsip keadilan sebagai barometer semua agama. Model berikutnya ialah “ontological pluralism” yang dikembangkan oleh Raimon Pannikar, menegaskan bahwa pluralisme bukan hanya terkait keragaman pengetahuan, melainkan diri kita sendiri juga beragam. Terakhir adalah “confessionalist pluralism” yang diusung oleh Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, J.A. DiNoia, John Milbank, dan Kenneth Surin. Mereka tidak mempersoalkan kekhasan masing-masing agama, termasuk dalam menegaskan klaim kebenarannya sendiri-sendiri.
Anselm Min mengusulkan pluralisme lain yang disebutnya “dialectical pluralism” Keseluruhan artikelnya memang dimaksudkan untuk mengelaborasi model pluralisme ini. Secara singkat, “pluralisme dialektis” hendak meneguhkan pentingnya menerima perbedaan antara satu dan agama lain, namun juga melihat interaksi dialektis sepanjang sejarah. Tak ada agama yang muncul sendirian, tumbuh dan berkembang secara terisolasi dari agama lain. Menurut Min, jika interaksi antar-agama ini dipahami dengan baik, maka akan memunculkan sikap solidaritas dari para penganutnya. Solidaritas yang dimaksud di sini bukan sikap yang mengekspresikan perhatian kepada yang lebih rendah, tapi dibangun dari kesetaraan sudut pandang.
Beberapa sarjana lain, seperti John Cobb, David Ray Griffin dan Mark Heim, tidak puas dengan berbagai model pluralisme, sebagaimana disebutkan di atas. Mereka mengusulkan apa yang disebut “deep pluralism”. “Pluralisme dalam” ini mempertanyakan apakah keragaman agama dapat direduksi pada perbedaan ekspresi dari Kebenaran Absolut atau Puncak (ultimate). Cobb bertanya secara retoris, bagaimana jika The Ultimate sendiri sebenarnya tidak tunggal, melainkan juga beragam? Keragaman Kebenaran Puncak yang dipersepsikan masing-masing itu riil, bukan hanya soal persepsinya yang berbeda.
Dengan alur argumen yang sama, Mark Heim menegaskan bahwa perbedaan jalan keselamatan yang digambarkan setiap agama itu sangat nyata. Jadi, bukan semata ekspresi berbeda dari satu hal (misalnya, surga) yang sama. Barangkali, Heim membayangkan surganya orang Kristen dan surganya orang Islam nanti berbeda. Karenanya, dia memberi judul bukunya, Salvations (Keselamatan), dalam bentuk jamak, bukan tunggal.
Mun’im mengusulkan satu lagi model pluralisme: “Critical pluralism”. Istilah “pluralisme kritis” biasanya digunakan oleh sarjana ilmu politik, tapi di sini dapat dimaknai sebagai evaluasi kritis terhadap argumen pluralisme agama, sebagaimana dikembangkan kaum pluralis, termasuk soal partikularitas agama dan persamaannya, serta bagaimana menjelaskan ketegangan antara keduanya. Pluralisme kritis bisa dimulai dari hal paling dasar: Apakah ada mekanisme eksternal dari agama-agama itu sendiri untuk menunjukkan benar tidaknya suatu doktrin atau ajaran agama? Kenapa pertanyaan ini penting, karena kita kerap mengukur kebenaran berdasarkan standard agama kita sendiri.
Mekanisme eksternal bisa berbentuk nilai-nilai universal yang tidak harus bersumber dari agama. Misalnya, penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, bisa berbentuk “outcome” dari praktik keagamaan. Apakah agama “A” dianggap superior daripada agama “B” padahal keduanya telah menginspirasi masing-masing penganutnya untuk berperilaku salih dalam kehidupan individual maupun sosial? Pluralisme kritis juga dapat menguji legitimasi kritik-kritik yang selama ini telah dilancarkan pada beragam model pluralisme.