Tafsir Qur’an Cross-Disiplin: Bayang-bayang Tafsir Masa Depan; Mungkinkah?
5 mins read

Tafsir Qur’an Cross-Disiplin: Bayang-bayang Tafsir Masa Depan; Mungkinkah?

Muhammad Syafirin (magister IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Aktifitas kajian al-Qur`an hari ini semakin memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Mun’im Sirri, salah seorang akademisi asal Madura yang menjabat sebagai asisten Professor di universitas Notre Dame Amerika, dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Retorika Polemik Kitab Suci”, ia menyampaikan bahwa tradisi kajian al-Qur`an di Barat hari ini sedang mengalami masa kejayaannya. Betapa tidak, al-Qur`an menjadi  objek yang cukup unik dan bisa menarik perhatian banyak kalangan akademisi di sana. Adapun di Indonesia, meski tak dapat dipersamakan dengan Barat, namun jika diperhatikan dari perkembangan mutakhir, tampaknya kita tidak bisa menapikan adanya pertumbuhan cepat yang terjadi.

Di era 90-an, progresifitas kajian al-Qur`an nampak subur bahkan produktif. Hal ini ditandai dari munculnya berbagai bentuk konstruksi metodologis penafsiran al-Qur`an. Tokoh-tokoh yang populer di masa ini adalah M. Quraish Shihab dengan tawaran metode tafsir tematik (mawdhu’i), M. Dawam Rahardjo dengan gagasan paradigma al-Fatihah dan tafsir sosial, kemudian Mun’im Salim dengan konstruksi trio teknik penafsirannya; teknik penafsiran sosio-historis, teknik penafsiran teologis, dan teknik penafsiran kultural, serta Nashruddin Baidan dengan tawaran konsep rekonstruksi ilmu tafsir.

Di era tahun 2000-an, muncul metode-metode yang lebih progresif, antara lain diperkenalkan oleh Djohan Effendi, yang mencoba melihat bagaimana sistematika al-Qur`an itu dapat berimplikasi pada penafsiran. Abdul Moqsith Ghazali, juga seorang tokoh yang pernah mengusulkan kaidah-kaidah ushul al-fiqh untuk dijadikan sebagai paradigma penafsiran. Tokoh-tokoh lainnya seperti Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, dan Amin Abdullah. Tiga tokoh terakhir ini, oleh Wardani digolongkan sebagai kelompok rasionalis-eklektik. Disebut demikian, karena metodologi penafsiran yang mereka tawarkan merupakan serapan dari hasil perpaduan  kreatif antara unsur tradisi/khazanah Islam Klasik dan unsur dari pemikiran Barat kontemporer.

Kontestasi metodologi penafsiran tampaknya tidak hanya terhenti di situ. Belakangan ini, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga telah berkembang setidaknya tiga pola baru metode dan pendekatan terhadap al-Qur`an, yaitu pertama, pendekatan tafsir maqashidi yang digagas oleh Abdul Mustaqim, kedua, pendekatan Ma’na-cum-maghza yang digagas oleh Sahiron Sayamsuddin, dan ketiga, metode tafsir tematik progresif yang dicetuskan oleh Muhammad Chirzin. Ketiga tokoh ini menduduki jabatan sebagai Guru Besar dalam bidang tafsir al-Qur`an di kampus tersebut.

Secara kuantitas, tentu yang disebutkan di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak teori dan pendekatan yang ada di Indonesia. Namun intinya, kita mesti sepakat bahwa, perkembangan metodologi tafsir al-Qur`an di Indonesia “tidak kalah maju” dibandingkan dengan yang ada di Timur Tengah maupun Barat. Justru yang lebih menarik di sini, tawaran-tawaran metodologi tadi tidak hanya lahir dari pemikiran sarjana-sarjana yang secara khusus menekuni al-Qur`an, tetapi juga dari kalangan sarjana-sarjana trans-disiplin  seperti sarjana ilmu sosial, historian, filsuf dan kedokteran. Di bidang kedokteran ini, tokoh yang memiliki kontribusi penting adalah Prof. Dr. dr. Daldiono. Dia menulis buku babon berjudul Globe Al-Qur`an. Di buku ini, ia menawarkan satu formula baru memahami al-Qur`an yang bertitik tolak dari peta diagonal surah al-Fatihah. Konon, penulis buku ini membutuhkan waktu selama 10 tahun untuk merancang metode tersebut. Dan terlepas dari pro-kontra terhadap karyanya itu, gagasan Daldiono memang patut diacungi jempol.

Maraknya tawaran metodologi di atas setidaknya bisa menjadi bahan evaluasi dini untuk melihat bagaimana tafsir al-Qur`an di masa depan. Kemajuan sains dan teknologi hari ini semakin memberi kemudahan bagi semua orang dalam mengakses sumber data dan informasi. Role keilmuan akademis juga kian berevolusi dan bertransformasi dari mono-disiplin menuju multi-disiplin keilmuan. Wajah filsafat yang sebelumnya dikenal dalam nomenklatur Islam saja, kini sedang dikembangkan dalam keseluruhan entitas keilmuan Islam. Sehingga, disadari atau tidak, hal ini pada akhirnya, turut memberikan dampak yang radikal  terhadap pengembangan tafsir al-Qur`an. Sebagai contoh, belakangan ini, sebagian ulama tafsir kontemporer, termasuk Quraish Shihab, mencoba untuk mendialogkan kembali hal-hal etic yang bersifat fundamen-finalisme pada era klasik, misalnya pendapat bahwa seorang penafsir dituntut memiliki akidah yang benar (sihhah al-‘aqidah), ini bisa diganti menjadi sikap yang obyektif. Dengan begitu, tafsir al-Qur`an bukan lagi merupakan sebuah keberhakan bagi kelompok  insider semata, tetapi juga merupakan hak bagi kalangan  outsider atau orang-orang yang non-Islam, asalkan mereka bersedia memenuhi persyaratan obyektif tadi dan tidak bertujuan untuk menyinggung persoalan yang bersifat doktrin-ideologis.

Saya melihat, ke depan tafsir al-Qur`an khususnya di Indonesia, sepertinya akan mengalami ekologisasi yang simplistik, artinya tafsir al-Qur`an akan semakin akrab dengan berbagai macam lini pengetahuan, bukan hanya kalangan mufassir saja. Jika hari ini, penyusunan tafsir al-Qur`an masih termediatisasi melalui tangan mono-mufassir atau bahkan multi-mufassir (kolektif), maka tidak mustahil ke depan tafsir akan lahir dari tangan ilmuwan-ilmuwan cross-disiplin. Dapat dibayangkan bagaimana seandainya satu forum majelis tafsir akan diisi oleh para pakar yang membidangi keilmuan yang berbeda-beda, dan melakukan pemahaman kolaboratif untuk melahirkan karya tafsir yang komprehensif. Tentu hasilnya fantastis sekali. Maka, Saya sangat menyayangkan jika produk tafsir di masa depan akan bernasip sama dengan hari ini, di mana tafsir al-Qur`an masih berkutat pada level “pengungkapan makna” dan “penjelasan maksud” firman Tuhan belaka. Belum ada upaya yang “serius” untuk mengkapitalisasi al-Qur`an sebagai “paradigma hidup” umat manusia lintas lini. Al-Qur`an hari ini masih terproyeksikan sebagai “hudan lil muttaqin” saja, dan seolah-olah khusus untuk kalangan muslim saja. Padahal, secara terang benderang al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai “hudan lin-nas”, yakni  sebagai literatur kemanusiaan universal! Wallohualam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *