RAPUHNYA TULANG PUNGGUNG KELUARGAKU
7 mins read

RAPUHNYA TULANG PUNGGUNG KELUARGAKU

Jum’at, 24 September 2021

Jelas sekali nampak diraut wajah ayahku betapa dahsyat rasa sakit yang di yang diderita saat ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain mendo’akan kesembuhannya. Apalagi untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya, sekiranya penyakit itu bisa aku pindahkan, aku akan pindahkan ke tubuhku, asalkan ayahku sehat seperti sedia kala. Terlalu banyak beban dan rasa sakit yang beliau pikul selama ini, itu semata-mata untuk keluarga kecil kami.

Kasih sayang yang selalu dicurahkan tanpa ada putus-putusnya, dia korbankan hidupnya demi kebahagian kami, sengatan matahari membakar tubuhnya hingga nampak hitam legam, dinginnya malam menembus kulitnya tidak dihiraukan terutama dalam mencari nafkah untuk kami, demi memenuhi kebutuhan keluarga kami, siang malam tak beliau pedulikan beliau selalu semangat dan terus bekerja keras. Bahkan kesehatan tubuhnyapun diabaikan dan itu semata-mata untuk kami lagi. MasyaAllah betapa mulianya dirimu wahai bulan purnamaku, wahai matahariku, sinarmu selalu memberikan kehidupan dan kebahagian untuk kami. Semoga sega peluh keringatmu digantikan oleh Allah sebagai amal ibadahmu.

Selama ini tak pernah terdengar oleh telingaku keluhan dari mulutnya mengenai kerasnya hidup yang harus dilaluinya, bahkan penyakit ganas yang dideritapun disembunyikan dari kami,  engkau bagaikan super hiro dalam hisupku wahai ayahku. Tetapi malam ini bagaimanapun engkau sembunyikan rasa sakit itu pada malam ini tidak akan dapat lagi mengelabuhiku. Walaupun malam ini aku tidak dapat merasakan bagaimana ganasnya penyakit itu menyerangmu, tetapi dengan melihat raut wajah yang begitu beda dari hari-hari sebelumnya  aku dapat memahami bagaimana sakitnya penyakit itu.

Malam ini aku berusaha tegar di hadapanmu ayah, karena aku tidak mau engkau melihatku menjadi anak yang cengeng, aku berusaha menyembunyikan air mataku dengan segera menghapusnya dengan tanganku. Tapi ayah melihatmu kesakitan seperti ini aku tidak mampu untuk berpura-pura tegar, kesedihan ini terus menghantuiku aku tak mampu melawannya, airmataku semakin deras jatuh ke pipi tembemku ini, tak mampu lagi aku menghapusnya ayahh,, maafkan aku, aku tidak bisa setegar dirimu dalam menghadapi kerasnya hidup ini.

Jadi malam ini aku pergi mengantarkan ayahku berobat, dan tempatnya sangat jauh sekali entah berapa kilo meter jalan yang kami lewati hingga sampai ke tempat orang yang akan mengobati ayah. Penyakit ayahku memang sudah sangat parah, beliau mengidap penyakit ambeyen, dan ini baru aku ketahui ketika ayah memberitahu ibu kemarin malam, mukin ayah kira aku sudah tidur, jadi beliau bercerita kepada ibu mengenai penyakitnya yang sudah parah, tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka, karena malam itu aku belum tidur. Dan ternyata selama ini beliau mengidap penyakit ganas tapi sama sekali aku tidak tau.

Bagaimana aku tau dengan penyakit beliau, sehari-harinya ayah bersikap biasa-biasa saja, bekerja dan menjalai hidup seperti orang yang sehat, kebahagian selalu terpancar dari wajahnya, tetapi selama ini dibalik keceriannya tersimpan dengan rapi rasa sakit yang beliau derita, sehingga kami anak-anaknya tidak ada yang tahu.

Selama ni juga dia bekerja sambil menahan rasa sakit itu, bagaimana konndisi beliau tidak parah, selain mencari nafkah beliau juga pergi mencari rumput dan bahkan sampai 3 sampai 4 kali sehari, dan itupun jalan kaki, dengan menempuh perjalan yang jauh, bahkan dulu pernah aku dengar dari orang beliau sering di ejek oleh peternak yang lain karena tidak bisa pakai motor, rumput itu selalu di panggu di atas pundaknya yang kekar. Ayahku adalah sosok manusia yang hebat, beliau tidak pernah menaruh rasa benci sama orang yang mengejeknya, tapi malah di balas dengan senyuman.

Pengobatan ayahpun dimulai, berbagai treatmen yang dilakukan oleh tukang obat itu kepada ayah, tak satu katapun ada bantahan dari ayah atas apa yang dilakukan orang itu kepadanya, beliau terlihat pasrah mengikuti pengobatan malam ini walaupun terlihat jelas ayah menahan rasa sakit. Setelah selesai pengobatan kamipun langsung pamait pulang, mengingat hari semakin malan dan rumah juga yang jauh.

Di malam yang gelap gulita, terlihat langit hanya di kelilingi oleh gumpalan awan yang hitam, tampa ada sinar dari sang rembulan dan bintang, seolah-olah ikut bersedih melihat kondisi ayahku malam ini. begitu juga dengan di jalan suasana nampak hening tidak ada lampu yang menerangi, hanya sorot lampu motor pink ku yang bersinar dan itupun tidak terlalu terang, karena cahaya yang sudah memudar. Dengan pelan aku mengendarai motorku, di samping itu juga aku tidak bisa mengendarai motor pada malam hari, tapi demi kesembuhan ayahku aku memberanikan diriku walaupun jarak yang ditempuh begitu jauh.

Dalam keheningan ini aku larut dalam kesedihan, mengingat kondisi penyakit ayahku yang parah. Banyak sekali yang ingin aku ungkapkan kepada ayahku tapi tak mampu aku ucapkan karena air yang bening ini sangat deras mengalir di pipiku yang tembem ini, aku tidak mau ayah mengetahui ku menangis. Jadi aku lebih memilih untuk diam, begitu juga dengan ayah mungkin karena rasa sakit yang di derita tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya, hanya terdengar rintihan beberapa kali. Perjalanan inipun diliputi keheningan yang mengecam.

Sesampainya masuk wilayah desa kami, rintihan ayah semakin kuat, dan terdengarlah suara dari belakang dan itu adalah suara yang berasal dari ayahku. Percakapanpun dimulai .

“Anakku, hentikan motor ini”,( kata ayah)

“kenapa yah kita berhenti, rumah kita kan masih jauh” (kataku )

“bapak tidak bisa lagi melanjutkan perjalan ini dengan motor anakku, ayah sangat merasa kesakitan” (ayahku sambil merintih).

“ayah,,, jangan turun, aku akan jalankan motor ini dengan pelan” (sambil terbata-bata menahan tangisku)

“tidak anakku, ayah tak sanggup lagi, jalan ini sangat rusak, ini akan membuat ayah merasakan sakit yang dahsyat, kamu duluan saja nak, biar ayah jalan kaki saja”. (sambil menyuruku untuk jalan duluan).

“tapi ayah,,,,” (sambil menangis).

Karena ayah mendesakku terus akhirnya dengan terpaksa aku biarkan ayah berjalan. Akupun menjankan motorku dengan sangat pelan, air mata ini terus mengalir tanpa mau berhenti, aku tidak tega sekali mmelihat “bulan purnamaku “ berjalan tertatih-tatih sendirian sambil menahan rasa sakit, aku pandangi beliau lewat kaca sepion motorku. Ayah kenapa harus engkau yang merasakan sakit ini, kenapa tidak aku saja yang diberikan,,,, (sambil mengis). Hancur sekali hati ini melihat kondisi “bulan purnamaku” seperti ini.

Ini adalah takdir dari Allah SWT, ayah telah dipilih untuk penyakit ini, karena ayah yang paling memapu untuk menghadapinya, Allah tidak membebankan kecuali hambanya itu mampu untuk memikulnya, di balik semua ini pasti ada hikmahnya.

“Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, tolong sembuhkan ayahku dari penyakitnya, jangan biarkan ayahku terlalu lama menahan rasa sakit ini , panjangkanlah umurnya, izinkanlah aku untuk memegang tangannya di depan ka’bah sebagaimana cita-citanya” Aamiinn ya robbal alaminn…

Aku berusa menahan air mata ini, tapi tidak bisa, melihat ayah berjalan kaki, dengan rasa sakit yang di alami, hati ini seolah-olah teriris, aku tidak tega melihat belaiu seperti itu, maaf ayah aku tidak dapat membantumu, seandainya jika allah mengijinkan aku rela utuk menggantikan ayah menerima penyakit itu, asalkan ayah sehat.

Tapi mau gimana lagi mungkin semua ini takdir yang terindah dari allah untuk kita, semua ini pasti ada hikmahnya, aku akan berdo’a kepada llah supaya menyembuhkan ayah, dan mengangkat segala penyakit ayah, semoga ayah panjang umur, dan suatu saat aku bisa memenuhi keinginanku untuk membawa ayah bersama ibu ketanah suci. Aminn.

Ya allah tolong sembuhkan ayahku, hilangkan penyakitnya, dan panjangkan umurnya, engkaulah yang maha menyembuhkan ya allah, tidak ada tempat hamba meminta dan memohon pertolongan selain engkau ya allah. Aamiinn

Tulisan ini kupersembahkan untukmu duhai “bulan purnamaku”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *