Memoar Hari Guru: Andai Saya Menjadi Guru
“Di balik pembicaraan soal sistem, undang-undang, seminar yang berderet, kurikulum yang menumpuk. Guru berdiri di depan kelas. Dia yang senyatanya mencerdaskan anak-anak”
-Anies Baswedan, Mantan Kemendikbud RI
15 November 2021
Pukul 06.30 wita, ceruk-ceruk mentari pagi nyelonong masuk dari balik genteng. Dengan stelan celana hitam dan baju merah yang dibungkus almamater kampus kebanggaan saya. Kemudian saya memasukkan buku pelajaran Qur`an Hadits kelas VII MTs dan barang-barang yang sudah aku siapkan untuk memulai kegiatan PPL di sebuah madrasah di kampung saya. Kegiatan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) ini merupakan salah satu program kampus, meskipun beberapa kawan saya sebelumnya sedikit menyesali ini musabab karena kami bukan berlatar belakang studi pendidikan. Namun, kegiatan ini bukan tanpa tujuan, kami pun mengaminkan niat pihak kampus untuk memberi kami bekal ketika kami dibutuhkan menjadi tenaga pengajar di kemudian hari.
Mudik ke madrasah yang sudah aku tinggalkan enam tahun yang lalu, tepatnya setamat dari bangku Madrasah Tsanawiyah sungguh sebuah mimpi. Ketika tiba di gerbang lokasi praktik sekaligus penelitian menjadi seorang guru, itu adalah sebuah momen yang mengharukan. Masih terngiang ketika pertama kali mengikuti Masa Orientasi Siswa di madrasah itu, ketika kakak kelas memintaku mempraktikkan bagaimana menjadi guru musabab di papan bio terpampang “cita-cita: menjadi guru”.
Pagi itu, saya langsung mengikuti kajian kitab akhlakulil banin secara rutin tiap hari jumat. Pesan-pesan yang disampaikan oleh Ustadz Su`ud yang berisi tentang mencintai Rasulullah saw adalah bekal awal untuk meniru Rasulullah saw sebagai the best manager and the best leader. Seusai kegiatan imtak, saya berbincang ringan dengan dewan guru juga sebagai ajang temu kangen di kantor madrasah. Banyak hal yang terlihat berubah dari bangunan madrasah yang sudah hampir berusia 11 tahun itu, terutama gedung madrasah yang sudah bertambah menjadi satu lantai di atas.
Pukul 09.45 wita, bel masuk di jam terakhir berbunyi. Saya bersiap-siap menyiapkan mental di hari pertama PPL yang mula terjadwal tiga kali pertemuan, bukan waktu yang lama tentu. Guru yang bertugas mengajar pun bersiap terlihat enjoy, berbeda dengan saya yang sedari tadi mencoba mempelajari beberapa materi. “Ayok naik”, ajak seorang guru menuju lantai dua, sambil bertanya, “kelas berapa tempatnya?”. “Kelas dua ustadz, jawabku”, sembari memanggul tas kecil di punggung saya, terasa seperti memanggul masa depan pendidikan.
Terlihat anak-anak masih menikmati sisa jam istirahat, beberapa anak di luar kelas, beberapa masih menikmati es dan jajan di dalam kelas. Saya masuk dengan tergupuh-gupuh memikul masa depan seorang agen pendidikan. “Ihtiraaam!, anak-anak berdiri. Hayyuuu! Serentak anak-anak mengucapkan salam “Assalamu`alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Sungguh suasana yang sudah lama saya alpa, namun hari ini dengan keringat mengucur deras, dengan posisi yang berbeda, seorang (calon) guru berdiri di depan kelas. Bangku-bangku terlihat berserakan, tempat duduk perempuan dan laki-laki lumayan berjarak. Dengan sedikit gugup, aku memulai membuka kelas “assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.” Serentak anak-anak menjawab antusias “Wa`alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh” . Saya pun mulai memperkenalkan diri, menuliskan pertanyaan-pertanyaan klise di papan tulis. Setelah itu kemudian saya mengabsen anak-anak itu dan meminta satu persatu untuk berdiri di depan untuk memperkenalkan diri. Meski beberapa anak-anak masih bermain lazimnya sifat remaja, saya berusaha mengontrol mereka dengan mencoba merayu untuk menghormati siapapun. “PAK-PAK! Terkadang saya sedikit jengkel dan memukul papan tulis. Sejenak mereka terdiam, saya memulai motivasi di sela-sela perkenalan itu “siapapun yang berbicara kepada adek-adek, siapapun yang mengajarkan adek-adek tolong dengarkan dan hormati, karena bisa jadi kita akan berada di posisi itu”, saya menatap mereka yang kali ini sedikit melunak”
Mata mereka berbinar, saya tersentuh , ternyata perasaan senang guru tidak hanya pada hasil muridnya sebatas di atas kertas. Namun perasaan senang itu ketika anak-anak mendengarkan dan menikmati apa yang seorang guru berikan. Mungkin dengan cara memberikan kesempatan anak-anak itu untuk maju dan berdiri di depan kelas akan memberikian mereka simpati betapa sulitnya berbicara berbusa-busa di depan kelas. Dan apa yang saya lakukan sedikit tidak membuat mereka merasakan apa yang saya rasakan di depan kelas.
Saya melanjutkan pembelajaran dengan melontarkan pertanyaan. Namun tidak sampai pertanyaan itu dijawab semua, anak-anak yang keluar dari kelas sebelah memancing perhatian mereka. “Pulang kak, yok kita sudah pulang!”, mereka terlihat kegirangan, persis menggambarkan wajah kami ketika duduk dibangku MTs di tempat ini. Saya sedikit terkejut, tidak terasa waktu berlalu secepat keringat mengalir deras di wajah saya, saya yang mulanya gugup dan berbicara kata perkata dari kalimat ke kalimat, bel pun berbunyi, tanda berakhirnya pengalaman pertama saya “andai saya menjadi guru”.
Untuk menjadi guru yang berkualitas, ternyata bukan hanya sebagai pengajar semata, namun juga sebagai pembelajar pertama. Ketika saya tidak bisa mengontrol mereka, saya harus belajar mengenal mereka. Ketika saya tidak sempat memberikan jawaban yang memuaskan, saya harus lebih giat belajar dari mereka. Ketika saya tidak mampu memahami mereka, saya harus dekat dengan mereka, menjadi ayah dan teman mereka. Setiap waktu adalah kelas belajar, setiap tempat adalah guru.
